Cerpen Fiksi
SUARA HATI
Sabtu
pagi, aku dan Ayahku pergi ke sekolahku di SMPN Bandung. Hari ini aku akan bagi
rapor kenaikan kelas. Aku sangat senang ketika melihat Ayah yang tersenyum
bangga padaku karena aku menerima predikat juara umum di sekolahku. Aku dan
Ayahku menaiki podium untuk menyampaikan sepatah dua patah kata atas prestasi
yang aku peroleh di tahun ini. Aku mendapat sambutan hangat dari para guru dan
juga teman-temanku. Aku sangat bersyukur karena aku telah diberikan kehidupan
yang begitu sempurna. Aku mendapat kasih sayang dari orang tua yang sangat
penyayang, dan mendapat teman-teman juga guru-guru yang dapat mendukung prestasiku
di sekolah. Betapa Allah Yang Maha Agung telah menganugrahkan harta yang paling
berharga dalam hidupku.
โHadiah
juara umumnya mau Ayah kasih apa, sa?โ Tanya Ayah padaku. โmmm.. terserah Ayah
aja deh..โ jawabku manja. Kami pun membicarakan tentang liburan kenaikan kelas
saat di perjalanan menuju rumah. โwah.. Bunda pasti bangga nih punya anak kaya
Salsa.. udah cantik, pinter, juara umum lagi..โ puji Ayahku. Aku tersenyum
tersipu pada Ayah. โAyah.. gimana kalau aku liburan di rumah Nenek aja.. pasti
Nenek juga bangga sama aku, karena aku juara umum..!โ pintaku dengan penuh
semangat. Ayahku pun mengiyakan dan kami mulai membahas hal apa saja yang bisa
ku lakukan selama disana.
Sesampainya
aku dirumah, aku bercerita banyak pada Bunda tentang prestasiku yang kudapatkan hari ini. Ia terlihat sangat senang. Kemudian
Bundaku menyuruhku untuk melaksakan sholat dhuha sebagai rasa syukurku pada
Allah SWT. Aku pun segera mengambil air wudhu untuk segera sholat. Setelah
selesai sholat, aku pun dipanggil oleh Ayahku. โSalsa.. kalau sudah selesai ke
kamar yaa!โ Seru Ayah. Aku segera datang ke kamarku, ternyata Ayah dan Bunda
sedang mengemas pakaianku untuk dibawa ke rumah Nenek. โkita berangkat
sekarang, yah?โ tanyaku bingung. โiya sayaang.. kamu pergi hari ini, nanti biar
Ayah sama Bunda yang nganter..โ jawab Bunda sambil mengusap-usap pipiku.
โAnter? Emang Salsa disana nanti sendirian..? Ayah sama Bunda ga ikut nginep?โ
tanyaku lagi. โSalsa disana ga sendirian ko.. kan ada Nenek , Tante Lia adik
Ayah, juga ada Imam sepupu kamu yang unyu-unyu itu.. nanti kamu bisa main sama
mereka..โ Jawab Bunda. โyaaah.. ga asik ah..โ keluhku. โHemm.. ya gimana, sa..
Ayah di Bandung kan banyak kerjaan. Bunda juga kan disini ngurusin Ayah, kalau
kamu kan ada Tante Lia sama Nenek yang ngurus.. sekalian kamu belajar mandiri,
sa..โ Ayah menambahkan. Ayah dan Bunda terus membujukku untuk mau liburan
sendiri. Aku pun berusaha setuju dengan mereka walau pun sebenarnya aku ingin
liburan kali ini bisa berkumpul dengan keluargaku. Tapi apa boleh buat, mungkin
pilihan orang tua adalah yang terbaik, pikirku.
Hari
hampir senja, aku bersama kedua orang tuaku berangkat menuju rumah Nenek di
desa. Butuh waktu 1 sampai 2 jam untuk bisa sampai disana. Aku berusaha
membayangkan hal-hal yang menyenangkan disana, walau pun tanpa kedua orang
tuaku tercinta. โmulai sekarang Nenek dan Tante Lia adalah orang tuaku, dan
Imam adalah adikku. Jadi aku harus senang liburan bersama mereka.โ tekadku. Aku
menikmati cuaca cerah di perjalanan ini. Mungkin ini sekitar jam 16.00 WIB.
Hari tidak terlalu panas namun tak terlihat akan hujan. Aku optimis melihat
sunset ketika sampai di danau di dekat rumah Nenekku. Karena tak jauh dari
rumah Nenekku, terdapat Danau atau yang biasa disebut sebagai Situ Patenggang oleh
masyarakat sekitar.
Setibanya
ku di desa Nenekku, aku pun membuka kaca mobil dan menikmati udara pedesaan di
hari yang petang. Ternyata saat aku datang ke desa ini, waktu sudah hampir
maghrib. Jadi kami sudah terlambat beberapa menit untuk melihat matahari
terbenam. Ketika sampai di rumah Nenekku, kami pun disambut oleh Tante Lia dan
Imam. Mereka membantu membawakan barang-barangku yang tak terlalu banyak ke
dalam rumah. Kemudian Ayah bertanya pada Tante Lia, โIbu mana, Li?โ tanyanya.
โke Masjid, a..โ jawabnya. โoh, pulang jam berapa kira-kira, Li?โ tanya Ayahku
lagi. โMungkin Isya, a.. soalnya pengajian rutin setiap sabtu baโda maghrib..โ
penjelasan Tante Lia. Kemudian aku disuruh untuk bermain bersama Imam di ruang
TV selagi orang tuaku dan Tante Lia mengobrol di ruang tamu.
Setelah
melaksanakan sholat Isya, aku dan keluarga yang lain makan malam di ruang
makan. Kami makan beralaskan tikar. Ini tak biasanya karena aku biasa makan di
rumah di meja makan. Tapi makan bersama-sama seperti ini akan semakin menambah
rasa kekeluargaannya. Dan tak lama, Nenek pun datang dan menghampiri kami yang
sedang makan. Tanpa ragu Nenek pun ikut makan bersama kami. Nenek terlihat
sangat senang ketika ku ceritakan bahwa hari ini aku telah menerima rapor dan
mendapat nilai terbaik di sekolahku. Tante Lia dan Imam pun terlihat sangat
senang mendengar kabar itu. Kemudian kami pun bercanda untuk memecahkan keheningan
malam di desa ini.
Setelah
selesai makan, Ayah berbicara padaku. โSa, Ayah sama Bunda pulang besok pagi.
Nanti Salsa mau dijemput ayah kapan?โ tanya Ayah padaku. โAyah jemput hari Selasa
aja ya..โ kataku sambil memeluk Ayah. Karena aku takut aku akan sangat
merindukan Ayah dan Bunda. โYaudah, sampai ketemu nanti hari Selasa ya Salsa...โ
Kata Ayah menggodaku. Aku pun memanfaatkan waktu bersama Ayah untuk bisa
bermanja-manja ria dengannya. Sampai akhirnya Bunda menyuruhku masuk ke kamar
Imam untuk segera tidur. Dan aku harus tidur bersamanya. Bunda terlihat
memberikan kode untuk membicarakan hal yang serius dengan Tante Lia dan Nenek
di ruang tamu. Kemudian Ayah mengantarku ke kamar Imam dan mengucapkan beberapa
ucapan selamat tidur kepada kami berdua. Setelah Ayah menutup pintu, aku pun
mengobrol dengan Imam tentang permainan apa yang biasa dilakukan anak-anak desa
disini. Tapi anehnya, Imam tidak menjawab dan langsung menarik selimutnya. Ia
menutupi seluruh tubuhnya, seolah ia enggan mengobrol dengaku. Aku tak mengerti
kenapa ia bersikap seperti itu. โApa ada yang salah dengan kata-kataku?โ
tanyaku dalam hati. Aku tak memperdulikannya dan mulai tidur.
Aku
pun memejamkan mata. Aku sempat terlelap, tapi aku terbangun lagi karena aku
mendengar Ayah yang sedikit membentak entah pada siapa. Aku tertegun takut. Aku
mencoba perlahan membuka pintu kamar dan melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Aku pun mencoba menguping apa yang sedang dibicarakan oleh para orang tua.
Samar-samar ku mendengar, mereka sedang membicarakan tentang tanah, warisan,
dan hukum. Aku tak mengerti apa maksud semua itu. Sulit rasanya diusiaku yang
masih belia begini untuk mengetahui permasalahan orang dewasa. Tapi yang jadi
pertanyaaku, kenapa Ayah harus sampai membentak sampai membangunkan ku. aku
merasa malam itu, Ayahku bukanlah Ayahku yang ku kenal. Namun aku tak mau
menghiraukan itu, aku pun menahan tangisku dan mencoba kembali ke temapat
tidurku. Aku pun ikut menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhku dengan
selimut.
Hari
minggu pagi, setelah sarapan aku pun mengantar orang tuaku ke mobil karena
mereka akan segera pulang. Aku sedikit khawatir karena jauh dari mereka. Aku
pun masih merasa sedih karena tak bisa berlibur bersama mereka. Tapi aku disini
punya teman yang bisa aku ajak bermain. Setelah orang tuaku berlalu dengan
mobilnya aku pun mengajak Imam bermain. Tapi ia masih terlihat enggan. Mungkin
ia masih marah padaku gara-gara pertanyaanku semalam. Jadi aku bermain sendiri
saja di halaman depan rumah Nenekku. Kemudian tak lama, ada yang memanggilku.
Aku tak kenal siapa dia tapi aku rasa dia akan mengajakku bermain. Aku pun
berkenalan dengannya. โNama aku Ega, kamu siapa?โ Tanyanya. โnama aku Salsa
Putri Utami, panggil aja Salsa..โ jawabku sambil menjabat tangannya. Aku pun
diajak bermain dengannya di sekitar rumah Nenekku. Aku pun dikenalkan kepada
teman-teman Ega dan kami pun mulai bermain bersama. Namun aku merasa ada yang
kurang ketika hendak pergi bersama mereka. Aku pun sadar bahwa Imam tak ikut
bermain bersama kami. Aku sudah bertekad untuk menganggapnya adikku, jadi aku
ingin mengajakknya bermain bersama kami.
โImam,
ayo gabung..!โ seru ku mengajaknya. Imam memandang lesu. Ia terlihat kurang
yakin. Hingga kini aku masih belum mengerti kenapa Imam bersikap aneh semenjak
semalam. Dengan sedikit rayuan untuk meyakinkannya, akhirnya ia pun mau ikut
bermain dengan kami. Keanehan demi keanehan pun mulai terjadi. Saat Imam tengah
akan mengahampiri kami Ega dan teman-teman yang lain malah terlihat lesu dan
mulai tak semangat untuk bermain. Sebenarnya apa yang terjadi disini? Apa Ega
dan kawan-kawan yang lain sedang berseteru dengan Imam? Suasana menjadi sedikit
kaku, dan aku berusaha untuk mencairkan suasana untuk mengajak bermain
permainan petak umpet. Biasanya permainan sederhana akan menghadirkan suasana
yang riang dan akan menjalin hubungan pertemanan yang lebih erat lagi.
Kami
pun memulainya dengan hompimpa. Kali ini salah satu teman kami yang mendapat
giliran pertama untuk jaga. Aku, Imam, Ega dan teman-teman yang lain mencari
tempat persembunyian sesegera mungkin. Aku memilih untuk bersembunyi dibalik saung-saungan
yang ada di dekat danau. Tak sampai hitungan ke 10, aku tak lagi mendengar sang
penjaga melanjutkan hitungannya. Aku sedikit terkejut karena tiba-tiba saja ia
berhenti berhitung. Aku pun sedikit mengintip kerena penasaran. Terlihat, Ega
sedang tertawa terbahak pada seseorang dengan pandangan angkuh. Aku tak tahu
apa yang sedang dikerjakannya dan kenapa ia tak lekas bersembunyi. Pada sudut
pandangku tak terlihat orang yang sedang diajak ngobrol dan apa yang menjadi
bahan tertawaan Ega saat itu. Aku pun berdiri untuk melihat lebih jelas. Aku
sudah tak memperdulikan lagi bahwa aku sedang sembunyi saking penasarannya. Aku
pun merasa permainan tidak akan dilanjutkan lagi oleh kami karena kejadian ini.
Teman-teman yang lain pun ikut berkumpul disana.
Aku
sangat terkejut ketika melihat Ega sedang tertawa terbahak melihat Imam yang
tengah bersembunyi dibalik tempat sampah yang terbuat dari tong bekas. Aku pun
melihat teman-teman yang lain juga tengah ikut menertawakan Imam. Mereka
menertawakan Imam kerena mereka berpikir bahwa Imam memang pantas berada di
dekat tempat sampah dan bahkan mereka menginginkan Imam berada di dalam tempat
sampah itu. Aku sempat dibuat kaku melihat kejadian itu. Aku sangat tidak
menyangka, Ega dan kawan-kawan yang lain yang baru saja aku kenal dan mereka
baik kepadaku bisa melakukan hal itu dan setega itu pada Imam yang ku anggap
adikku sendiri. Aku berjalan perlahan menghampiri mereka dengan penuh rasa
keraguan akan kebaikan mereka. Aku bertanya pada mereka apa yang mereka lakukan
pada Imam. Lalu Ega berkata padaku, โkamu ga usah main lagi sama dia! Dia anak
orang miskin, cengeng, jelek lagi!โ suara Ega semakin kencang ketika memaki
Imam. โDasar anak ingusan!!โ caci mereka sambil menyuraki Imam yang tengah
menangis. Entah mengapa, aku semakin merasakan sesak yang dalam ketika
mendengar adikku sendiri direndahkan begitu. Tak lama, Tante Lia keluar dari
dalam rumah dan membentak untuk mengusir anak-anak nakal itu. Tante Lia
kemudian membawa Imam pulang dengan sedikit paksaan. Aku membantu Imam berjalan
karena ia terlihat sangat lemas. Aku tak sampai hati melihatnya tersiksa batin
begini. Sesampainya di rumah, Nenek sudah menunggu kedatangan kami di depan
pintu rumah. Dia
tengah bersiap untuk memarahi kami berdua. Namun ternyata Imam pun diseretnya
ke ruang tengah.
Terpaku. Diam membisu. Aku
hanya bisa pasrah ketika aku melihat, Imam, yang juga sepupuku dipukuli dan
juga disiksa habis-habisan oleh Nenekku. Aku tak tega melihat dia ditampar,
dicambuk dan harus menerima perlakuan sadis lainnya. Aku menangis melihatnya
yang menjerit kesakitan. Saat itu usiaku baru 14 tahun. Dan Imam berusia 4
tahun dibawahku. Mungkin Imam terlalu dini untuk disiksa begitu. Namun apa
daya, semakin dia menangis maka ia akan semakin disiksa. Tak berdaya ku ketika
itu. Tak bisa menolong karena terlalu polos untuk melawan. Hingga akhirnya setelah
kurang dari satu jam Nenek pun berhenti memukuli Imam. Imam masih merintih
kesakitan. Ia yang masih lugu dan imut harus mendapatkan perlakukan kekerasan
seperti ini. Aku bertanya-tanya walau pun aku masih kecil, โapa salahnya hingga
ia dibeginikan. Padahal ini hanya masalah sepele?โ Aku mencoba menenangkan
Imam, tapi ibunya yang juga Tanteku, ia malah mengurungnya di kamar dan tak memperbolehkan
Imam untuk pergi kemana pun saat itu. Bahkan diberi makan malam pun tidak. Aku
meringis melihat kekejaman demi kekejaman yang diterima Imam, pria kecil lugu
yang seharusnya merasakan apa yang aku rasakan ketika bersama kedua orang tuaku.
Seingatku,
Ega yang mengatakan โanak ingusanโ pada Imam hingga ia menangis, tapi kenapa
harus Imam juga yang dimarahi begini? Namun rupanya Imam telah diperingatkan
untuk tidak bermain dengan Ega. Itu karena orang tua Ega pernah merebut tanah
milik Kakek yang sekarang menjadi perkebunan teh di Padalarang. Padahal dulunya
tanah itu milik keluarga Kakekku dan tanah itu akan dijadikan perumahan untuk
anak-anak dan cucu-cucu Kakek ketika besar nanti. Tapi ternyata, keluarga Ega
telah merebut semuanya. Hanya karena dahulu Kakekku dan Ayah Ega berbisnis bersama,
dan Ayah Ega mengambil semua lahan investasi bisnis yang telah dirintis bersama
Kakekku. Oleh karena itu, Imam tak diperbolehkan bermain dengan Ega, karena
Nenek merasa bahwa keluarga Ega adalah keluarga yang bisa menghancurkan
keluarga kami. Beginilah hukuman yang diterima Imam jika melanggar peraturan
itu. Dan memang terbukti, Ega mengahancurkan mental Imam dengan kejamnya tadi
siang.
Namun yang jadi pertanyaanku,
kenapa sepupuku itu harus mendapat peringatan hingga sekejam itu. Padahal Imam
pasti tak tahu menahu soal itu. Yang ia inginkan, hanyalah bermain dengan
teman-teman sebayanya. Ega adalah salah satu anak di desa ini, mungkin Imam pun
ingin bermain dengan semua anak di desa ini. Aku yakin Imam pun ingin
mengeksplorasi dunianya dengan bermain dengan siapa pun termasuk juga Ega. Tapi
mungkin Nenek ada benarnya. Untuk apa Imam bermain dengan Ega dan kawan-kawan
lainnya. Mereka saja kejam terhadap Imam. Lalu, Imam harus bermain dengan
siapa? Dunia kami masih penuh dengan permainan, tapi kenapa nasib Imam harus
tak memiliki teman sepermainan seperti ini? Apa harus aku pindah kesini untuk
bisa menemani Imam setiap hari? Aku pun terus bertanya-tanya dalam hati.
Keesokan
harinya, Imam keluar dari kamar dengan keadaan pucat dan lemas. Matanya bengkak
habis menangis semalaman. Ia dituntun oleh Nenek keluar kamar. Imam
diletakkannya di sofa ruang TV. Kemudian Tante Lia datang menghampirinya dari
arah dapur. Tante Lia pun menyuapi Imam semangkuk sup. Aku dapat melihatnya
dari teras belakang rumah. Sepertinya Imam sedang tidak nafsu makan karena
pasti dia merasa tertekan. Tak lama, ia terlihat ngadat dan tak mau makan.
Tante Lia langsung membanjurkan sup hangat itu ke wajah Imam dengan ekspresi
penuh amarah. Imam yang marah juga langsung pergi ke luar rumah dengan keadaan
kotor karena tumpahan sup. Aku mendengar ia menagis dari kejauhan. Aku langsung
mengambil sepeda ku dan mengerjarnya. Dari gerbang rumah Nenekku, aku melihat
ia berlari menuju danau desa yang letaknya tak jauh dari desa tempat Nenekku
tinggal. Aku melihatnya dia sedang berlari sambil menangis dan aku pun segera
menghampirinya.
Di sisi danau, aku terkejut saat melihat Imam
yang tengah dilempari batu oleh Ega dan kawan-kawannya. Mereka mulai meledek
Imam. Dari kejauhan aku mendengar Imam yang tengah dicaci-maki karena wajahnya
yang dipenuhi sup dan menangis. Aku pun mendengar saat Ega mengatakan, โDasar
lo, anak orang miskin!!โ. Ega mengatakannya sambil tertawa lepas. Aku
menjatuhkan sepeda ku karena kaget dan lemas dibuatnya. Aku seolah tak tahu
harus bagaimana lagi menghadapi kenyataan bahwa sepupuku yang tak mendapatkan
kasih sayang dari manapun. Aku yang hanya berperan sebagai saksi saja, menangis
dan merasa sakit hati. Tapi bagaimana dengan Imam yang harus menghadapi semua
ini sendirian. Tak ada tempat untuk mencurahkan isi hati dan emosinya. Aku tak
tega melihatnya terus begini. Aku pun langsung merangkul Imam dan berusaha
menghentikan aksi mereka. Sampai-sampai aku ikut terkena lemparan batu mereka
di dahiku. Aku semakin marah karena aku ikut terlempar. โApa yang kalian
lakukan?! Dia ga salah apa-apa!! Bubar semuanya, BUBAR!!โ perintahku kepada
mereka. Aku berusaha mengusir mereka. Mereka pun berlarian menjauhi kami.
Syukurlah, aku tak apa-apa. Tapi saat aku melihat Imam, ternyata dagu dan dari
hidungnya keluar darah. Aku menangis karena tak tahu harus berbuat apa-apa. Aku
tahu kalau kami mengatakan kejadian ini pada Tante dan Nenek, pasti Imam akan
merasa tambah menderita. Kemudian aku memutuskan untuk membawanya ke saung tak
jauh dari kami.
Aku
membersihkan lukanya dan mencoba membasuh darahnya. Aku pun pergi sebentar ke
rumah untuk mengambil beberapa obat untuk mengobati Imam. Aku tergesa-gesa
menaiki sepeda, hingga aku pun terjatuh. Tak sadar lututku pun berdarah. Aku pun
berlari pincang ke dalam rumah. Tiba-tiba ada Tante Lia, โKenapa sa? Ko
jalannya pincang begitu?โ tanyanya dengan ekspresi dingin padaku. Aku sedikit terkejut.
โemh.. ga Tante, aku cuma jatuh aja tadi dijalan pas naik sepeda.โ Jawabku dengan
kaku karena takut. Kemudian Tante Lia membawakan kotak P3K kepadaku. โbiar aku
obati sendiri aja Tante...โ pintaku agar aku bisa kabur membawa kotak P3K itu.
Tante Lia pun mengiyakan dan langsung pergi ke dapur. Aku menarik nafas lega
dan aku segera pergi ke danau lagi dengan sepeda. Sesegera mungkin aku mengobati
luka Imam agar tak terjadi infeksi. Aku begitu khawatir padanya.
Ketika
aku mengobati Imam, terlihat dia tengah pasrah dan menahan kesaiktannya. Tak
satu pun kata keluar dari mulutnya. Aku jadi semakin khawatir kenapa
bisa-bisanya dia diam atas apa yang telah terjadi padanya. Apa tak ada
segelintir pun emosi yang akan dia ungkapkan pada orang lain? Atau adakah sedikit
niatan untuk melampiaskan semua kemarahannya padaku? Aku menunggu dia melakukan
itu. Tapi, dia hanya diam. Hanya suara desahan yang keluar dari mulutnya akibat
menahan rasa sakit saat ku obati lukanya. Padahal aku tahu, sakit akibat luka
yang dideritanya tak akan sebanding dengan luka yang terlanjur menembus tulang
dadanya. โYa Allah... Betapa tegar dan kuatnya hati adik hamba-Mu ini..โ kagumku
dalam hati.
โSuatu
hari nanti, kamu akan menemukan secerca ambisi yang akan kau kejar dan akan kau
raih..โ gumamku setengah berbisik. โharapan seperti apa untuk anak ingusan
sepertiku?โ Imam membalas gumamku. Aku sedikit terkejut karena Imam mendengar
gumamanku yang aku lontarkan dengan sepelan mungkin. Diam ku dibuatnya.
Kata-katanya cukup untuk membuatku semakin bingung. Imam pun berlalu dariku.
Bahasa tubuhnya mengisyaratkan bahwa ia tak ingin diganggu oleh ku. Aku rasa ia
akan menenangkan diri. Namun aku khawatir padanya. Aku takut ia akan diganggu
oleh anak-anak nakal itu lagi, atau bisa saja ada anak-anak lain yang akan
mengganggu dia. Setelah Imam tampak cukup jauh dari ku aku pun mencoba untuk
membututinya dengan sepeda. Aku mengikuti kemana ia akan pergi. Beberapa saat
setelah penasaran kearah mana ia akan pergi, aku pun mendapati Imam yang
berjalan menuju kandang sapi milik salah satu penduduk desa ini. Aku mengamati
Imam dari kejauhan. Aku mengintipnya yang sedang memberi makan sapi-sapi yang
ada disana. Dia pun nampak sedang bercerita panjang lebar pada sapi-sapi itu
dengan perasaan riang gembira. Namun terkadang dia terlihat murung dan terlihat
menahan air matanya.
Aku
senang karena akhirnya aku tahu kemana Imam mengungkapkan semua isi hatinya
walau pun sapi lah yang menjadi buku diary-nya selama ini. Aku pun
mengendap-ngendap dari arah belakang untuk lebih jelas lagi apa yang ia
bicarakan pada sapi-sapi itu. Lalu aku pun mendengarkannya dengan seksama.
โsa.. aku sebenarnya salah apa? Kenapa orang-orang membenciku? Kenapa semua
orang yang ada di dunia ini mengacuhkan hidupku. Untuk apa aku ada di sini
kalau aku hanya dijadikan bahan olokan, cacian dan pukulan mereka? Aku ga tahu
apa-apa soal tanah itu. Tapi kenapa Nenek selalu menyalahkan aku tentang hal
itu? Apa hubungannya tanah itu dengan aku?โ keluh Imam pada sapi-sapi sambil
memberi mereka makan. โwhat? Dia panggil sapi itu dengan sebutan โSaโ? dia
menyebut nama sapi itu seolah dia menyebut namaku..โ aku sedikit ngedumel
mendengar hal itu. โSa itu, panggilan untuk sa-pi alias sapi.. โ jawab Imam.
Aku tak sadar kalau Imam telah mendengar dumelan ku. โeh.. heheheโ aku
tersenyum malu padanya. โko kamu denger sih, Mam?โ tanyaku sedikit kaku. โkalau
bisik-bisik itu pelan-pelan suaranya sa.. kalau masih kedengeran namanya bukan
bisik-bisik. Nanti ketahuan orang lho..โ Imam malah menasehatiku dengan sedikit
menggoda. Aku pun dipintanya untuk tidak mengikutinya lagi. Dia merasa aku
sudah cukup mencari tahu tentang hidup dia yang sebenarnya. Aku tak mengerti
kenapa Imam begitu tertutup pada semua orang dan lebih memilih didengarkan oleh
binatang yang tak mengerti masalah hidup yang dia hadapi sekarang ini. Apa dia
menderita keterbelakangan mental karena tekanan yang telah dia terima dari
semua orang? Aku tak mengerti, kenapa semua orang benar-benar tak memperdulikan
isi hatinya yang sama seperti mereka. Aku yakin
mereka juga akan merasa tak nyaman dan merasa sakit bila harus bertukar
posisi dengan Imam. โYa Allah,, semoga Kau memberikan hidayah-Mu pada semua
orang yang telah menyakiti Imam.โ Doaku dengan sepenuh hati
Tak
terasa hari telah berganti. Walau cuma berlibur selama 2 hari 3 malam, tapi
banyak hal yang ku ketahui selama berada disini. Selasa pagi, aku akan dijemput
untuk pulang ke Bandung. Liburan pun telah usai, tapi liburan kali ini sama
sekali tidak ada kesan menyenangkan dan jauh dari kata mengasyikkan. Aku malah
merasa ikut tertekan dan tak mau meninggalkan Imam dan membiarkan ia menghadapi
semua ini sendirian. Aku sangat khawatir padanya. Aku ingin menjaganya karena
setelah melihat semua kenyataan ini aku merasa ingin melindunginya seperti
adikku sendiri.
Aku berpamitan dengan Nenek, Tante Lia dan
Imam. Aku tersenyum pada mereka. Aku rasa Nenek dan Tante Lia tak menyadari
rasa tertekan yang dihadapi olehku dan Imam. Dan tak mungkin rasanya bagi
mereka untuk mengerti perasaan kami berdua. Namun saat di dalam mobil aku
berusaha menahan tangisku. Aku tak sampai hati berlalu meninggalkan rumah itu.
Yang aku maksudkan adalah sepupuku yang
tinggal di rumah itu. Padahal sebelumnya aku merasa sangat ketakutan. Ketakutan
untuk rindu pada kedua orang tuaku. Tapi kini rasa rindu itu pun dapat
dikalahkan oleh perasaan khawatirku pada Imam.
โ
Imam, aku tahu ini sulit bagimu. Walau
pun kita masih kecil, tapi kita akan buktikan sesuatu. Dimana kita akan
berhasil dimasa yang akan datang. Walau sekarang ini pahit, tapi kita akan
merasakan indahnya mendapat hidup ini. Aku akan selalu mendukungmu.. โ Itu
adalah surat yang ku tuliskan untuk Imam sebelum aku meninggalkan rumah Nenek.
10 tahun kemudian
Aku
tengah terburu-buru untuk menyiapkan materi untuk mengajar di salah satu
Universitas Negeri di Jakarta. Siang nanti setelah mengajar, aku akan
mengahadiri kuliah umum yang diadakan ketua jurusan. Aku pun menyiapkan
beberapa pertanyaan untuk aku ajukan pada pemateri. Kebetulan tema acara kali ini bertajuk bagaimana
cara bangkit dari keterpurukkan hidup.
Pukul
11.00 WIB. Aku pun duduk di bangku barisan untuk para dosen. Aku datang tepat
pada waktunya karena acara baru saja dimulai. Setelah acara pembukaan dan
sambutan-sambutan, akhirnya pemateri pun datang keatas podium. Saat ku tahu
siapa pemateri kuliah umum kali ini, aku sangat kaget dan tak dapat ku menahan
rasa ketidaksangkaanku. Karena yang menjadi pembicaraan sekarang ini adalah,
Imam Hamzah. Ia berusia 20 tahun, yang baru saja lulus S1 dari jurusan
komunikasi di Universitas ternama di Indonesia. Dia lulusan paling muda dengan
nilai cumlaude hampir 4. Dan kini aku sadar bahwa dia adalah sepupu ku yang
mengidap keterbelakangan mental akibat siksaan yang ia terima 10 tahun lalu. Aku
tak menyangka ia sudah menjadi seperti ini sekarang. Dengan badan gagahnya ia
pun berbicara di depan audiance dengan percaya diri ia membicarakan tentang
pengalaman hidupnya. โOh, Imaaaamm.. kau yang dahulu pendiam, kini kau curahkan
isi hati mu, isi pikiranmu, kecerdasanmu dan kata-kata bijakmu pada semua
orang. Kini kau telah menunjukkan jati dirimu yang sebenarnya. Kau yang dahulu
hanya bisa berbicara pada sapi-sapi tetangga. Kini kami semua lah yang menjadi
sapi-sapi mu. Karena aku yakin, dari semua audiance
yang hadir disini hanya aku saja yang tahu dan mengerti permasalahan hidupmu di
masa lalu. Dan tak akan ada seorang pun yang melihat sisi keterpurukkanmu di
masa kelam itu. Kini kau membawanya dengan kemasan untuk memotivasi banyak
orang dari pengalam hidupmu. Aku bangga padamu.โ Gumamku tertegun kagum pada
Imam.
Setelah
lebih dari satu jam mendengarkannya bermain kata-kata bijak aku pun menemui
Imam di dekat parkiran mobil. Aku tak menyangka Imam yang begitu sederhana bisa
tampil elegan dengan kesederhanaannya itu. Imam pun melihatku dari kejauhan dan
melambaikan tangan kearahku. Dia mulai mengahmpiriku. โHai, Sa..โ sapanya
dengan ramah. Aku tersenyum manis. Kesan pertama yang mengagumkan. Tak seperti
sepuluh tahun lalu yang cenderung menutup diri. Kini dia begitu terbuka pada
semua orang. Kami pun sedikit berbasa-basi dan bercanda. Sudah sembilan tahun
terakhir kami tak pernah berbicara. Terakhir aku mengetahui kabarnya, dia sudah
lulus SMA 3 tahun yang lalu. Kini Imam sudah jauh berkembang pesat dari yang ku
duga.
Aku
mulai berbicara, โAku tak sanggup menahan air mataku saat kau bicara di podium
tadi. Tadinya aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Tapi untuk mengangkat
tanganku pun aku tak sanggup karena tegun dan haru. Jadi, aku akan bertanya
langsung padamu tanpa harus orang lain tahu.โ Aku pun menghela nafas dan mulai
melanjutkan, โSudah sepuluh tahun ya, Mam.. kita ga pernah komunikasi.โ ungkapku.
โsekarang aku sudah menjadi dosen di Universitas ini. Dengan aku juara umum
saat SMP, sepertinya kau sudah mengetahui bahwa aku akan bermuara disini. Tapi
bagaimana denganmu? Arus sederas apa yang telah membawamu sampai sesukses ini?โ
kataku melanjutkan. โAda satu kata-kata yang tak akan pernah aku lupa. Waktu
itu -sepuluh tahun yang lalu- aku menemukan secarik kertas yang berisikan aku
harus membuat ambisiku sendiri. Aku mengejarnya dan aku meraihnya. Aku memang
tak bisa menjadi juara umum sepertimu, tapi aku bisa buktikan sesuatu dari
ambisi itu dengan meneriakkan semua kesakitanku dimasa lalu. Dahulu memang aku
tak pernah mengekspresikan kesakitan batinku pada siapa pun. Tapi aku
mengatakan โaduhโ, โawโ atau โahโ dengan memberi semangat kepada orang lain
yang bernasib sama sepertiku. Karena aku tahu kata-kata keluhan tak akan
berpengaruh apa-apa pada dunia. Untuk itu ku ciptakan perubahan. Aku menggebrak dunia dengan keluhanku,
kesakitanku, keperihanku. Dengan begitu aku bisa membuat orang lain sadar akan
kesalahan mereka memperlakukan orang-orang sepertiku. Dan berkat itu semua, aku
pun bisa mengembalikan hak-hak keluarga
kita atas tanah milik Kakek. Tapi sayang, ketika semua itu terwujud orang yang
seharusnya memiliki tanah itu telah pergi.โ Jelasnya. โapa maksudmu?โ aku bingung.
Lalu dia menjawab, โTadi pagi, nenek meninggal karena sakit...โ.
*****SELESAI******
Komentar
Posting Komentar