IN ONE TALK
Synopsist
Perkenalan yang singkat bahkan
terlalu singkat, sudah membuatku jatuh hati pada seseorang. “Dia ini siapa ya?
Mahasiswa? Hmm kayanya terlalu tua untuk itu. Apa dosen? Terlalu muda juga
sepertinya. Lalu dia siapa? Sedang keperluan apa dia di sini? Kelihatannya dia
membawa setumpuk Skripsi. Apa yang akan dia lakukan dengan itu? Aku jadi
penasaran.”celotehku dalam hati sambil mengamati. Ntah aku ke-PD-an atau
ini beneran kejadian, aku malah merasa sedang diperhatikan oleh laki-laki itu
saat aku setengah melamun tadi.
Akibat diriku yang tak
bisa memendamnya terlalu lama, aku pun memutuskan untuk mengungkapkannya. Namun
menunggu dirinya mengungkapkannya juga adalah hal yang sangat menyebalkan. “Udah sih, kak.. mengaku aja, apa susahnya
sih?! Langit tidak akan runtuh hanya karena kita bilang suka atau hanya sebatas
kagum. Aku juga manusia biasa yang pastinya pernah mengalami itu.
Tanda-tandanya sudah ku kenali dan sudah ku pahami. Untuk apa menutup-nutupi
sesuatu yang sudah jelas terlihat. Aku bisa yakin, karena ketika kakak bilang
“ngga”, justru perasaan itu semakin nampak terlihat. Apa yang kakak perlihatkan
di dalam chat, sangat tidak sesuai dengan pernyataan yang kakak buat sekarang
ini. Aku berpikir setelah pengakuan itu, kita akan tetap berteman ko. Tidak ada
suatu apa pun yang berubah atau apa pun itu.” Aku sedikit kesal.
Hanya karena sekali
berbicara, seakan semua masalah berawal namun bisa saja terselesaikan. Dan aku
sedikit tidak menyangka, aku bisa dalam situasi yang cukup rumit seperti ini
hanya karena sekali berbicara dengan Mas Rifqi. Aku tidak tahu apakah
pikirannya sekalut dan serumit pikiranku.
Namun, apakah setelah
pembicaraan ini semua hal yang membuatku merasa senang akan berakhir?
Mungkinkah Mas Rifqi mengutarakan isi hatinya sama sepertiku? Karena tak
semudah itu untuk ungkapkan rasa. Apalagi, kondisiku memang sudah ada yang
memiliki.
22 Maret 2016
perkenalan
Pagi yang cerah untuk bersemangat. Hari ini aku bersiap
memulai hari ku. Aku berencana untuk melaksanakan Kerja Praktik di Obsevatorium
Bosscha. Aku merasa gugup, takut, bingung dan senang dalam waktu yang hampir
bersamaan. Berharap semua hal buruk tidak terjadi di hari Senin yang indah ini.
8.40
am, jam berbicara pada ku. Tak terlalu terlambat untuk dikatakan pagi.
Untunglah aku memiliki rider man yang handal agar aku cepat sampai disini.
Padahal aku berangkat dari rumah sekitar pukul 7.30 am dengan jalanan yang agak
macet, belum lagi tadi di pengesian bensin sempat antre dulu sekitar 10 menit.
Ingat amanat Sadam –teman astronomy
ku di kampus–, “kalau udah di Bosscha,
cari Bu Ely”. Itu kata-kata yang masih terngiang-ngiang dalam benakku. Tapi
aku masih belum tahu, siapa itu Bu Ely. Jadi ku tanyakan dulu pada petugas yang
berjaga di pos keamanan. Katanya Bu Ely ada di Perpustakaan. Saat masuk ke
salah satu gedung, aku melihat ada Pak Mahasena – Kepala Bosscha– dan aku malah langsung bertanya dimana Bu Ely.
Aduh, aku merasa bodoh! Harusnya ku sapa dulu Bapak Kepala Bosscha. Tapi sudah
terlanjur, jadi tak apa lah.
Ku menunggu sekitar 2 menit hingga
ku bertemu Bu Ely, Beliau menyuruhku menunggu Pak Evan. Oke!~ menunggu adalah
sesuatu yang menyebalkan. Untunglah Bu Ely memberikan ku bahan bacaan tentang
laporan-laporan sesudah Kerja Praktik di sini, jadi aku bisa sedikit
memanfaatkan waktu ku untuk mencari beberapa referensi yang nantinya aku
butuhkan.
Tiga laporan sudah aku lahap dengan
rakus. Tapi Pak Evan belum juga datang. Aku jadi bingung, karena Anto –rider
man ku– sedang menunggu. Padahal dia jam 2 nanti sudah harus kerja. Dan butuh
waktu 1 jam untuk perjalanan pulang jika tanpa macet di jalan. Sudah jam
setengah 10. Aku ga bisa menghubungi Anto untuk memastikan waktu ku kepadanya
karena di sini susah sinyal. Aku jadi semakin bingung.
Tersadar dari kesibukanku. Ternyata
disini sangat sepi. Aku hampir tak mendengar suara apa pun. Sudah lama aku
mengidamkan tempat sepi seperti ini. Telingaku terasa adem dan perasaanku
menjadi tenang karena sepinya. Aku lebih suka tempat yang sepi seperti ini dari
pada tempat yang banyak orang yang membuat aku pusing dan bising. “wah!~ gue
cocok nih disini!” seru ku dalam hati. Aku menarik napas panjang dan kupejamkan
mataku, aku menikmati kesendirian ku sejenak. Karena moment seperti ini pasti
susah lagi ku dapatkan.
Tak lama kemudian, aku mendengar
langkah kaki seseorang. Aku berharapn itu Pak Evan yang sedari tadi aku tunggu.
Kemudian memanglah ada seorang laki-laki yang menghampiri ku kemudian dia duduk
di sebrang meja besar di Perpustakaan Bosscha. Dengan percaya dirinya aku
bertanya, “Pak Evan, bukan?”. Dan dia melihatku penuh kebingungan, aku hampir
malu karena tak biasanya aku se-supple itu, apalagi kepada orang yang baru aku
kenal. Biasanya kalau di kampus, dengan sesama mahasiswa yang sudah ku kenal saja
aku suka pura-pura tidak lihat karena malu untuk menyapa. Rasanya aku mau
meledak menahan ini. Seketika itu, laki-laki berjaket agak tebal dan berkaca
mata itu menjawab kalau dia bukan Pak Evan. Oke!~ semakin malu lah aku. “Sial!” dumelku dalam hati. Karena sudah
tanggung, jadi ku lanjutkan saja sikap ku yang ‘sok’ kenal ini. Ntah apakah dia
menyadari kekhawatiran yang sedang ku alami.
Lama-lama kami jadi nyambung
membahas apa pun sekenanya, dengan sekian bahasa formal dan pertanyaan biasa.
Dengan merasa aneh ntah berapa kilo Joule, aku seakan baru menemukan diriku
lagi yang cepat akrab dengan orang baru seperti ini yang sudah lama terpendam
semenjak SMA dulu. Padahal aku seperti ini karena tadi aku keceplosan.
“Disininya masih lama kan?” tanyanya. Aku tidak bisa
memastikan karena aku rasa Anto sedang berharap aku akan selesai jam 12. Jadi
dia tidak akan terlambat untuk pergi bekerja. Ada tatapan khawatir di matanya,
dia kemudian menanyakan bagaimana aku pulang nanti. Aku menjelaskan sebisaku
agar dia mengerti. Karena kondisiku saat ini lumayan kalut untuk berkata-kata. Kemudian
dia berinisiatif untuk menghubungi Pak Evan, walau tidak dibalas oleh Beliau.
Aku sedikit terdiam di sela-sela
pembicaraan kami, “Dia ini siapa ya?
Mahasiswa? Hmm kayanya terlalu tua untuk itu. Apa dosen? Terlalu muda juga
sepertinya. Lalu dia siapa? Sedang keperluan apa dia di sini? Kelihatannya dia
membawa setumpuk Skripsi. Apa yang akan dia lakukan dengan itu? Aku jadi
penasaran.”celotehku dalam hati sambil mengamati. Ntah aku ke-PD-an atau
ini beneran kejadian, aku malah merasa sedang diperhatikan oleh laki-laki itu
saat aku setengah melamun tadi. Dengan reflek, aku langsung berpura-pura
memaikan handphone ku saja, walau bukan dengan mengoperasikannya melainkan
memutar-mutarkannya di jari-jariku. Untuk mencairkan suasana kemudia dia
menanyakan beberapa hal yang membuat aku merasa kalau hal ini memang wajar
dilakukan dan hanya sekedar etika umum.
Dia pun menawari ku nomor kontak Pak
Evan, dengan senang hati ku terima. Lalu tiba-tiba dia pamitan pergi untuk
mencari Pak Evan ke kampusnya. Alih-alih meminta nomorku untuk mengabari ku
jika ia menemui Pak Evan dan akhirnya kita pun berkenalan. “Saya Rifqi, nanti
kalau saya ketemu Pak Evan saya kabarin ya?” katanya memastikan. Aku tidak
meng-iya-kan, hanya mengaggukan kepala sambil tersenyum. Tiba-tiba, “Mas Rifqi
mahasiswa juga?” tanyaku sponta. Aduuh!~ keceplosan lagi. “Saya mahasiswa juga,
baru lulus. Tadi baru minta tandatangan.” Jawabnya dengan jelas. “wah!~ kapan
wisudanya?” tanyaku lagi. “Nanti awal april.” Jawabnya lagi. “Selamat yaaa!~”. oops~
oow! Keceplosanku sepertinya berlebihan. Kami pun terdiam sejenak sambil
kebingungan harus berbuat apa, dia pun hanya tersenyum dan menganggukan kepala.
Mungkin dia merasa aneh karena baru melihat perempuan sekonyol diriku.
Jam menunjukkan pukul 11 am. Aku semakin khawatir dengan
keadaan Anto yang dari tadi ku tinggalkan. Aku lalu menghampirinya di pos
keamanan yang sedang mengobrol dengan para petugas. Saat aku menanyakannya
benar saja, handphone nya sedang lowbath dan dia harus mengabari temannya untuk
mengkonfirmasi kalau dia akan datang terlambat karena menungguku dulu di sini.
Akhirnya aku inisiatif untuk bertukar handphone. Anto memakai handphone ku
untuk mengabari temannya, dan handphone Anto aku bawa dulu untuk aku charge di
dalam.
Saat sampai di perpustakaan lagi,
aku sedikit mengobrol dengan Bu Ely. Beliau juga sedikit mengkhawatirkan aku ,
apakah aku ada acara lain atau tidak. Dan aku pun berusaha menjelaskannya lagi
pada Bu Ely seperti aku menjelaskan hal ini pada Mas Rifqi. Bu Ely juga
memintaku untuk hadir di pertemuan para staf di sini, sekalian perkenalan. Aku
juga ditawarkan alamat e-mail Beliau, kalau-kalau Pak Evan susah dihubungi.
Wah!~ orang-orang disini baik-baik, tak ku sangka mereka akan seramah ini.
Jam 12, waktunya pertemuan. Aku
sedikit gugup karena aku masih canggung dan agak kagok dengan orang-orang di
sini. Tapi aku mencoba untuk adaptasi. Dengan perkenalan yang sederhana, ini
akan menentukan sikapku dan relasiku di masa depan. Tak sampai satu jam,
pertemuan dan perkenalan pun selesai. Kemudian ada acara makan-makan. “Waduh!~ Anto gimana ya? ” Belum sempat
berpikir tindakan apa yang harus aku lakukan, Bu Ely sudah menyuruhku
untuk memanggil Anto agar ikut
makan-makan.
Saat ku menjemput Anto, di tengah perjalanan ke tempat
pertemuan aku dan Anto sedikit mengobrol. “Tadi ada sms dari Rifqi katanya Mas
Evannya lagi rapat. Terus dia nelefon juga tadi.” Jelas Anto. “Trus diangkat
ga?” tanyaku lagi, dan ia menjawab tidak. Aku pun tidak meneruskan. “Wah!~ kenapa sampai repot-repot menelefon
segala? ” aku sedikit terheran. Dan aku tak melanjutkan lagi.
Setelah makan-makan, dengan perasaan
yang sangat tidak enak aku terpaksa harus berpamitan karena memang tidak bisa
lagi berlama-lama di sini. Tapi Bu Ely dan yang lain pun memaklumi, sehingga
aku diperbolehkan duluan pergi. Memang serasa tidak sopan sih, begitu selesai
makan langsung pergi begitu saja. Tapi mau bagaimana lagi, kami memang memiliki
kepentingan lain.
* * * * *
TANDA-TANDA TAK BIASA
Sesampaiku di rumah, aku langsung mengabari Mas Rifqi.
Pesannya baru ku baca karena handphone nya baru ku buka. “Assalamualaikum, Mi
ini Rifqi.. mas Evannya sedang rapat di prodi, aku ga tau selesainya jam berapa
dan ke Bosscha atau ga” katanya. Pesan itu ku terima sekitar pukul 12:13.
“Wa’alaikumsalam mas rifqi, yaudah gpp. Kata bu elly saya langsung ngontek ke
mas evan nya aja.. Makasih sebelumnya :)” jawabku dengan ramah. “maaf tadi ga
keangkat, saya lagi ada pertemuan sama staf disini” lanjutku. “apa aku terlalu berlebihan merespon? Apa aku
kurang sopan pada senior? Aku ‘sok’ akrab ga sih? Kayanya abis ini dia bakal
nanya aku pulang, aduh!~ jangan deh! kalau beneran, ini bakalan mulai merembet.”
Aku menghela napas dalam-dalam dan berharap semua ini masih dalam batas normal.
Dua jam kemudian, dia baru menjawab “jadi pulang jam berapa tadi mi?? Sudah
dihubungi mas evannya??” tanyanya lagi. “Tuh!~
kan.. gue bilang apa.. semoga ini normal!” aku mencoba untuk berpositif
thingking. Kemudian aku jawab saja kalau aku sudah di rumah dan menghubungi Pak
Evan.
Satu minggu kemudian...
Aku sedang mengerjakan tugas Kerja Praktik pertamaku dari Pak
Evan. Ada yang kurang dari power point yang ku buat. Aku lalu mulai ‘googling’
untuk mencari pelengkapnya. Aku cari-cari tidak ada, daripada aku buang waktu
dan kuota ku lebih baik aku minta saja. “apa
aku minta sama Pak Ridlo –dosen astronomi di kampusku– saja? Jangan ah, ntar disangka modus lagi.
Pak Evan? Ga mungkin, ini kan tugas dari Beliau. Hummm, minta ke siapa ya? Mas
Rifqi? Mmm, sopan ga ya? Ah, coba dulu deh.” Aku mencoba menghubungi dia.
Eh, dia malah seneng aku chat di whatsapp. “Ih,
kenapa sih, Mas Rifqi kaya yang seneng gitu aku chat? ” aku berpikiran seperti
itu karena dia memakai emoji senyum dengan mata terlipat dan pipi merah. Apa
dia senang karena aku chat?.
Aku merasa penasaran sampai sejauh mana ini akan berlangsung.
Jadi aku ladeni saja. Benar saja, ternyata Mas Rifqi menghampiri duluan sebelum
ku kasih umpan, dia malah nanya-nanya. Seperti ada hal yang tidak biasa terjadi
disini. Tiba-tiba dia menanyakan aku jadi atau tidaknya melaksanakan Kerja
Praktik di Bosscha, setelah ku jawab kalau aku jadi Kerja Praktik di Bosscha
dia seperti merasa lega karena itu. Aku coba tanya apa alasannya, dia malah
menjawab tidak apa-apa sambil memasang emoji serupa tadi. Alasannya juga
seperti hanya basa-basi saja. Dan aku pun agak ragu.
Kesini-sininya malah Mas Rifqi yang banyak tanya,
mentang-mentang kami berdua satu bidang Astronomi jadi bisa mepet-mepet deh
percakapannya. Aku ga tau pasti, tapi yang jelas aku ngerasa ada yang aneh sama
Mas Rifqi. Mungkin, sekitar 1000 kilo Joule pada medan Baper yang arahnya tegak
lurus terhadap Arus kehidupan. Lebay!~ “Kalau
emang dia baper? *eh tunggu.. nanya-nanya yang belum pasti! Coba tanya diri
sendiri, baper atau ngga?? mmmmmm... tuh kan ga bisa jawab.. aduh!~”
perasaan ku mulai kalut. Belum lagi, bisa bahaya kalau Anto sampai tahu aku
lagi diisengin orang kaya gini. Dan lagian, apa Mas Rifqi ga ngeuh aku pakai
foto apa di profile akun whatsapp ku? itu kan foto ku bersama Anto.
Suhu tubuhku mulai tak stabil, percepatan aliran darah yang ku
rasakan mulai melambat hingga mungkin lebih kecil dari nol sehingga sebentar
lagi tubuhku akan melakukan Big Crunch. Besok aku akan menghadap Pak Evan untuk
presentasi. Aku rasa aku akan aman karena Beliau bilang kalau aku presentasi
hanya dengan Beliau. Tapi Mas Rifqi malah nanya aku kapan ketemu sama Pak Evan.
Aduh!~ ada bahan dia kepo sama presentasi gue, sial!
Kami meneruskan perbincangan lagi, aku sempat membahas Bolabot
dan kami juga sempat membahas Pak Ridlo, dan sedikit guyonan tentang fisika. Kemudian
sedikit intermesso tentang nama ami fajriani, dan sejarah nama itu. Dia
kelihatan kagum mengetahui aku penulis novel, padahal aku ini kan masih
amatiran. Memang menulis itu sudah menjadi seperti menulis diary. Makanya kalau
menulis cerita selalu tentang pengalaman pribadi. Disamping selalu ingat dan ga
akan lupa kalau-kalau menulis itu nantinya tertunda, bisa menulis true story
itu butuh ingatan yang luar biasa. Jadi ga sembarangan orang juga yang bisa
melakukannya. Walaupun, ga selalu tiap moment aku tulis. Tapi ya, begitu. Aku
menulis hanya disaat-saat moment Exaiting saja. Dan kalau bukan karena sibuk
yang menyita waktu menulisku, akhirnya aku pun menjadi tidak produktif untuk
menulis.
Aku merasa senang, Mas Rifqi mendukung hobby ku yang suka
nulis. Dia mendo’akan ku agar suatu saat tulisanku tak hanya bisa terbit namun
bisa sampai dijadikan film. Ah!~ itu memang impianku dari novel pertama ku yang
berjudu “Skenario dalam Diary”. Tapi sayang, novel itu hilang. Dan datanya ada
di komputer yang komponen-komponennya sudah dipreteli oleh kakak ku. Mas Rifqi
juga malah memberikan aku referensi tentang penulis yang dia kenal. Lumayan lah
buat link.
Ada satu kejadian yang disaat chat yang membuat aku makin
merasa yakin perasaan apa ini. Handphone ku ini memang suka agak error. Suka
berhenti beroperasi secara tiba-tiba. Aku itu orangnya panikan dan
kadang-kadang ga sabaran, jadi aku paksa-paksa gitu. Eh, yang dipilihnya fiture
apa, masuknya ke fiture apa. Dan tahu-tahu malah ada sambungan telefon whatsapp
memanggil Mas Rifqi. Aku pikir dia yang menelefon ku, tapi ternyata aku yang
menelefon dia. Oh My God!~ mampus gue! Aku langsung saja mematikan sambungan
telefonnya. Dia sampe kaget kayanya aku telefon. Waktu aku klarifikasi, eh dia
malah seneng kalau aku memang beneran telefon. Semakin nampak lah Energi
Potensial baper antara kita berdua.
Sekarang giliran aku yang beranya kepadanya. Tadinya aku ingin
curhat tentang Pak Ridlo yang sekarang aku sudah mulai punya dendam pribadi
terhadapnya. Aku ingin aku menceritakannya pada seseorang dan seseorang itu
bisa menceritakannya lagi kepada Pak Ridlo. Dengan harapan, Pak Ridlo ga usah
takut aku akan baper atau semacamnya. Toh, Pak Ridlo juga sudah punya istri.
Lagian apa aku salah aku hanya sekedar berkonsultasi, sharing atau membicarakan
tentang masa depan ku di astro seperti apa? Dengan siapa lagi aku harus meminta
bimbingan motivasi kalau bukan dari dosen sendiri. Tapi ya sudah lah, mungkin
Pak Ridlo memang menutup jalanku, tapi bukan berarti menutup semangatku!
Aku sangat terkejut ketika Mas Rifqi menambahkan, “dirimu juga
udah punya pacar tuuuhh” usilnya. Aku speachless dan tak bisa berkata-kata
lagi. Aku malah merasa khawatir, karena sejujurnya aku takut kalau dia sudah
membahas ini. Tapi ini sudah terjadi, jadi aku harus hadapi. Berharap dia sama
sekali tidak akan berubah dan tetap akan merasa nyaman denganku walau hanya
teman. Tapi justru yang terlontar malah
aku balik bertanya apakah dia masih jomblo atau bukan. Pasti ketahuan salah
tingkahnya deh!~ . Dia malah balik nanya pendapatku, lagi. Bikin aku makin
salah tingkah aja, aku takut aku ke-PD-an. Jadi aku bilang saja kalau dia udah
punya juga. “haha ‘sok’ tahu ih ami..” jawabnya mengelak. Aku merasa makin
senang mendengar jawaban itu. Bukan karena itu berarti aku tahu dia masih
jomblo, tapi cara bicaranya yang membuat aku semakin salah tingkah. Belum lagi
dia pasang emoji meledek. Aku suka itu!
Lalu aku seceplosnya meledek sambil ‘sok-sok’an menasihati
untuk menyegerakan dirinya agar cepat menikah. “ahh ami kali yang kebelet nikah
haha” ledeknya memancing ku untuk berterus terang. Aku sudah punya firasat ini
akan merembet, dan benar saja. Ku jelaskan kondisiku yang sebenarnya dengan
cara sebisaku. Aku memang akan menikah dalam waktu dekat ini. Memang ada
sedikit penyesalan kenapa aku masih merasa seperti ini disaat aku sudah mulai
serius dengan Anto, tapi aku juga merasa bahagia karena bisa mengenal Mas Rifqi
dan membuatnya tersenyum. Aku sekarang sadar, waktu pembicaraan pertama itu aku
memang terlalu ramah sehingga orang lain mudah baper. Aku rasa itu awal
kesalahan ku, tapi juga itu sebagai awal kebaikanku karena aku bisa memberi
kesan pertama yang baik terhadap orang lain yang baru ku kenal. Yah!~ itu lah
resikonya. Aku merasa bersyukur karena aku tidak menampakkan diriku yang tidak
suka bersosialisasi kepada Mas Rifqi. Aku tidak tahu apa jadinya kalau itu
sampai terjadi.
Aku merasa kalau keanehannya bertambah 1000 kilo Joule lagi.
Semenjak membicarakan ini, kata-katanya berubah. Tak ada ketawa, tak ada emoji,
tak ada guyonan. Aku jadi bingung dan makin merasa aneh. Walau pun ada
kata-kata dia mendo’akan agar acaraku lancar, rasanya kalau do’a tidak ikhlas
itu memang aneh ya. Haha!~ aku mulai ke-PD-an lagi. Untunglah, aku bisa membawa
lagi ke suasana seperti tadi walau memang sudah sedikit berbeda.
“hahaha jangan baper gitu ka” ledekku, ku ubah cara panggil
karena tidak terbiasa memanggil “Mas” kepada orang lain. Maklum lah, lahir dan
besar di sunda dengan gen carrier dari china. Walau pun 50% keluarga ku orang
jawa, tapi tetap saja tidak terbiasa. “bapernya gara2 diduluin sama junior..
baru kenal pula wkwkwk” ujarnya. “haha bercanda koo” tambahnya lagi. Jujur, aku
lebih suka dia tidak menambahkan bahwa dia sedang bercanda. Aku harap itu
serius, karena aku jadi merasa tambah senang sekarang. Aaaahh!~ eottoke?? eottoke?!
(eottoke = dalam bahas korea yang berarti apa yang harus aku lakukan?). Ya aku
pancing lagi aja untuk memastikan, “Junior yang mana?” tanyaku. “malah nanya
juniour yang mana haha” katanya.
Sepetinya dia mulai jengkel karena dari tadi pembicaraan ini muter-muter tak ada
ujungnya. Aku makin senang dengan jawaban ini. Walaupun akhirnya membuatku
penasaran juga.
Hanya karena sekali berbicara, seseorang bisa baper. Hanya
karena sekali berbicara, seakan semua masalah berawal namun bisa saja
terselesaikan. Dan aku sedikit tidak menyangka, aku bisa dalam situasi yang
cukup rumit seperti ini hanya karena sekali berbicara dengan Mas Rifqi. Aku ga
tau apakah pikirannya sekalut dan serumit pikiranku. Apa aku salah merasa
seperti ini. Mungkin jawabannya adalah iya. Dan ntah apa aku harus menyesal
atau tidak. Yang jelas aku harap aku bisa melalui ini seperti biasa. Ungkapkan
dan lupakan. Meskipun aku belum mau melakukannya. Aku hanya sekedar ingin
memanfaatkan situasi ini dengan baik. Tak peduli bagaimana ujungnya nanti.
Sejenak melupakan perasaan itu, kucoba untuk mengikuti arus
yang akan terjalani. Perbincangan pun dilanjutkan. Sekarang kami malah tebak-tebakan
umur dan debat soal perbandingan umur pasangan ideal. Iya sih emang kita sama-sama setuju kalau pasangan
ideal itu laki-laki lebih tua, tapi kenapa dia malah harus cari anak SMA?
Padahal yang masih dibawah tiga tahun atau dua tahun dari dia juga bisa. Yang
masih seumur aku juga bisa, eh dia malah ga connect. “kan aminya udah mau nikah
#eh haha” candanya. Aku ingin tertawa sekencang-kencangnya. Karena ini
merupakan kode keras buat diriku sendiri. Rasanya aku ingin berteriak di
telinganya, kalau itu ga harus aku. Aku jadi semakin salah tingkah dan merasa
senang. Mungkin pipi ku ini sudah memerah tanda buah sudah berasa manis.
Aku tadinya ingin melanjutkan, sampai muara pembicaraan ini.
Tapi Mas Rifqi menundanya. Aku rasa ini adalah tantangan untuk ku, se-gentle
apa aku bila mengungkapkannya langsung. Jadi aku tantang dia balik. Dengan
seribu alasan dia mencoba mengelak, tapi perangkap ku sudah menjeratnya dalam-dalam.
Hingga aku pun susah keluar dari situasi ini.
* * * * *
Dunia tersirat
Pembicaraan berakhir untuk hari ini. Aku
merasa tidak enak karena mengajaknya bergadang hingga pukul 23:33 pm. Tapi
rasanya aku tak ingin melepas pembicaraan ini. Aku hanya merasa takut,
kalau-kalau besok semua keadaan ini akan berubah dan aku akan kehilangan ini. “Kehilangan? Memangnya apa hak aku untuk
merasa kehilangan? ” bodoh!~
mengapa aku harus merasakan ini. Aku paham betul seharusnya perasaan ini tak
boleh aku rasakan. Tapi malah dengan perasaan ini aku seperti merasa bahagia.
Dan membuat aku ingin tertawa sekencang-kencangnya. Aku jadi bertingkah laku
seperti anak kecil. Ku banting-banting boneka panda besarku sambil menahan tawa
agar seisi rumah tidak terganggu akan tingkahku yang konyol.
Exaited!~ membuatku jadi tak merasa kantuk
sedik pun. Padahal besok aku harus bangun pagi karena aku harus pergi ke
Bosscha pagi-pagi sekali. Aku tak khawatir soal presentasi yang akan aku hadapi besok. Yang aku pikirkan
hanyal begaimana caranya aku melepas energi yang sebesar ini di jam segini.
Selalu saja terbanyang percakapan pertama itu
saat ku coba memejamkan mataku. Yang membuat aku tak bisa menahan tertawa dan
salah tingkah. Ada banyak hal konyol terjadi pada saat itu. Terutama di dalam
diriku. Haa!~ apa ini tidak terlalu cepat untuk dikatakan kalau aku memang
baper? Aku semakin bingung kemana akan menyalurkan perasaan ini.
Menulis bukan lah ide yang buruk untuk
meredakan sedikit exaitement yang sedang ku rasakan. Namun menulis membutuhkan
waktu yang lama untuk menyelesaikan.
Energi ku akan dua kali lipat terkuras. Tapi dari pada aku tidak bisa tidur dan
waktu ku terbuang, lebih baik aku menulis saja. Setidaknya ketika matahari
terbit nanti rasa exaitement itu tidak akan mengganggu presentasiku besok atau
pun aktivitas lainnya.
Sudah hampir pukul 5 pagi. Ku selesaikan juga
tuliskanku. Ntah berapa kata yang typo ku tuliskan. Ntah berapa kalimat yang
grammarnya berantakan yang jelas aku sudah tak bisa menahan pejaman mataku.
Setelah ku tutup laptopku, aku pun tertidur. Mataku terpejam dan tiba-tiba,
“Neng! Bangun!” suara ibuku memanggil. “Neng! Bangun, mau ke Bosscha ga?!” seru
ibuku lagi. Aku
terkejut dan langsung melihat jam. Jam sudah menunjukkan pukul 5:30 am. Rasanya
belum semenit ku memejamkan mata, tapi aku harus segera bangun
Aku pun bergegas. Dengan mata panda yang
masih sangat jelas, sayu dan kelelahan aku mencoba melangkah dengan semangat.
Ini hari pertama Kerja Praktik ku, tapi tubuhku tak bisa diajak kompromi. Aku
sepertinya lupa kalau semalam
aku tidak makan, alhasil saat akan sarapan perutku menolak karena
lambungku bermasalah. Aku merasa mual dan tekanan darahku sangat rendah. Aku
lupa, dua hari lalu sebanyak 300 cc darahku didonorkan dan saat ini terlalu
dini buatku untuk bergadang. Oke!~ aku sakit. Semoga aku bisa menjalani hari
sampai akhir!
Cemas.
Perasaan tidak enak badan dan terbawa perasaan menjadi satu. Membuat aku kalut
dan terasa jantung ini berdebar. Sejak awal memang aku sudah ke-PD-an kalau aku
akan bertemu lagi dengan Mas Rifqi hari ini. Ini bukan suatu pengharapan. Tapi
aku berusaha memikirkan kondisi terburuk saat presentasi nanti. Aku hanya takut
tidak fokus karena Mas Rifqi ikut menyaksikan diriku saat presentasi nanti.
Sesampaiku
di Bosscha aku sempat menunggu Pak Evan sekitar setengah jam. Aku sempat merasa
bosan dan akhirnya sakitku terasa lagi. Kepalaku sedikit pusing dan perutku
terasa sangat keras dan aku merasa semakin mual. Bagian tulang punggungku juga
terasa linu sehingga jika terlalu lama duduk aku merasa ingin pingsan. Lemas
ini membuat kaki dan tanganku terasa dingin.
Dan aku ingat aku belum sarapan. Tadinya aku ingin sarapan dulu, mumpung
aku bekal makanan dari rumah dan sambil menunggu Pak Evan datang. Tapi ntah
kenapa ketika aku melihat makanan aku jadi tidak nafsu makan dan dadaku terasa
sesak. Makanan itu pun aku simpan lagi untuk siang nanti.
Kurang
dari jam 10 am. Akhirnya aku bertemu dengan Pak Evan. Pak Evan pun langsung
meyapaku, “Ini yang dari UIN, ya?” tanyanya ramah sambil menunjuk kearahku. Aku
hanya meng-iya-kan dengan menganggukan kepalaku sambil tersenyum ramah. Dengan
semangat Pak Evan menyuruhku memulai presentasi. “Oke, silahkan mulai
presentasi!” serunya dengan ceria.
15 menit berlangsung, presentasi pun sudah
selesai. Tapi itu cukup membuatku merasa lelah karena Pak Evan malah mem-bully
ku selama presentasi. Beruntunglah Mas Rifqi tidak ada disini. Aku jadi sedikit
lega. Namun semakin kesini, Pak Evan mengajariku semua hal dasar tentang
bagaimana mengambil data dan pengolahannya untuk Asteroid. Perkuliahan
berlangsung sangat lama. Tak terasa waktu sudah meunjukkan jam 12:15 am. Karena
sudah waktunya makan siang, Pak Evan mengusulkan untuk istirahat sampai satu
jam. Dan aku memanfaatkan waktu untuk mengistirahatkan badanku yang sudah
semakin tidak stabil.
Sedaritadi
aku memang memikirkan Mas Rifqi yang tak ku temui hari ini. Aku terus menerus
memikirkan itu sehingga aku merasa semakin nge-drop. Aku mencoba bertahan agar
aku tidak pingsan sampai magrib nanti. Kantuk pun mulai ku rasakan, aku juga
baru ingat kalau semalam aku hampir tak tidur. “Haaah!~ Tuhan… kuatkan aku hari ini..” aku berharap dalam hati.
Akhirnya aku mencoba untuk makan, walau tak nafsu makan tapi aku mencoba untuk
mengisi energi diriku agar bisa melewati
hari ini. Kemudian aku membuka kotak makan ku. Aku masukan sendok demi sendok
nasi yang ku bawa tadi ke dalam mulutku. Saat ku kunyah, aku malah merasa tidak
bisa napas dan
seolah makanan itu akan keluar lagi. Semakin lama, volume nasi yang aku masukan
kedalam mulutku semakin sedikit. Dan butuh waktu setengah jam untuk
menghabiskan setengah bekalku. Aku makan dengan perlahan karena aku sambil
menahan gejolak perutku.
Saat
sedang mencoba berkonsentrasi untuk menghabiskan makananku. Tiba-tiba ada
seseorang yang datang ke Perpustakaan. Aku terkejut karena aku pikir itu Mas
Rifqi. “Ah bukan dia. Itu cuma Pak
Ridlo.. eh Pak Ridlo?!” aku malah kaget dua kali. Aku reflek memajang
senyum saat melihat Pak Ridlo. “ada Fahmi” gumamnya sambil tersenyum walau
bukan ke arahku. Aku pun melanjutkan makan dan sambil melihat handphone ku.
Ntah kenapa aku menanti Mas Rifqi menghubungi ku. “Sudah lah, kalau suka juga dia bakal ngehubungi sendiri.” Kataku
dalam hati. Kemudian sadar tidak sadar ternyata Pak Ridlo tengah bertanya
kepadaku, “Udah mulai ngapain aja nih, mi?” sapanya. “Kuliah sama Pak Evan,
Pak.” Responku seperti biasa, seorang Ami yang ‘sok’ rame. “whe, kuliah apa?”
tanya Pak Ridlo lagi dengan ekspresi sedikit terheran. Kemudian aku menunjuk ke
arah papan tulis dengan senyum bangga menunjukkannya kepada Pak Ridlo. “Wheis..
Pengamatan.” Katanya dengan tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Tak
terasa sudah satu jam aku beristirahat. Sudah waktunya aku melanjutkan kuliah
lagi. Pak Evan memulai lagi topik pembicaraan tentang pengamatan. Namun aku
merasa semakin aneh karena kepalaku sudah mulai semakin tidak fokus. “Ah!~ FOKUS!” bukan semangatku yang
hilang, tapi kesadaran dalam diriku yang sudah semakin hilang. Mataku mulai
kunang-kunang. Seakan aku tinggal menjatuhkan tubuhku dan membuat semua orang
yang ada disini panik. Aku pun tidak tahu apakah Pak Evan memperhatikan mukaku
yang sudah pucat atau tidak? Tapi aku harap tak ada seorang pun yang tahu tentang
ini. Dan akhirnya jam 3 pm, kuliah pun selesai karena Pak Evan kelelahan
mengajariku seharian.
“Kalau ada Mas Rifqi, apa dia akan menyadari
kondisi ku? ” keluhku. “Aaaiish!
Ngomong apa sih aku ini?! ” gumamku dalam hati. Ntah karena aku memang
sakit atau memang aku sudah semakin baper, tapi kenapa perasaan ini sudah
merasuki dunia alam bawah sadarku. Semakin aku mencoba melupakan, badanku
terasa semakin lemas. Dan aku malah merasa bahwa energi ku bukanlah berasal
dari makanan yang ku makan tadi, melaikan ketika aku memikirkan Mas Rifqi. Dan
aku juga tidak tahu. Apakah ketika keinginan itu terpenuhi, aku akan tiba-tiba
sehat atau malah aku akan semakin sakit?
Sekarang
jam sudah menunjukkan pukul 4 pm. Seharusnya Anto sudah menghubungiku. Tapi tak
kunjung juga ada suara handphoneku
berdering. Ku buka whatsapp dan akhirnya Anto pun mengabari, “Aku udah
mau pulang, aku langsung kesana ya, bey.” katanya. Ah!~ ini aneh sekali. Kenapa
justru aku tidak mengharapkan dia yang menghubungiku. “Daripada aku penasaran, apa aku hubungi duluan aja ya? ” gumamku.
Tersirat, kuingat kata-kataku yang menyatakan bahwa kalau dia memang suka dia
yang akan menghubungiku. Ntah itu terjadi atau tidak. Namun aku harap dengan
ini akan timbul suatu jawaban agar aku tidak terus-terusan terlibat dalam
perasaan yang rumit ini.
“Assalamu’alaikum.. masih di bosscha mi? ”.
Aku membuka handphone dengan ekspresi ngantuk, lalu seketika aku terbelalak
bangun dan terkejut melihat dari siapa pesan yang baru saja ku terima. Itu
adalah pesan dari Mas Rifqi. Ah!~ apa ini?! apa aku sadar sudah mengatakan hal
bodoh apa tadi? Mengapa aku malah berkata-kata hal aneh sekarang ini? “Ami harus sehat, ami sadar dong, mi..
please! ”celotehku dalam hati sambil menarik napas panjang dan mengedip-ngedipkan
mataku dengan kencang, berharap aku akan
segera tersadar. Dan benar saja, setalah Mas Rifqi mengabariku, tubuhku seolah
merespon positif. Dengan tiba-tiba seolah aku menjadi seseorang yang baru saja
terbakar semangat pagi. “eottoke!? Bagaimana ini?! mengapa alam
bawah sadarku seolah tak terkendali..” keluhku dengan
kebingungan yang tak bisa berbuat apa-apa.
* * * * *
STUCK
Aku berusaha merespon positif. Berharap dia tak curiga
kepadaku kalau aku tengah menunggu pesan darinya. Tapi aku merasa tak tahan
untuk mengatakan kalau aku memang menantinya. Dan akhirnya hal itu pun aku
tanyakan juga. Ternyata Mas Rifqi sedang pulang kampung. Oleh karena itu, sulit
memang untuk mengharapkannya.
Ku tak bisa menggapaimu, takan pernah bisa.
Walau sudah letih aku tak mungkin lepas lagi.
Kau hanya mimpi bagiku, tak untuk jadi nyata..
dan sgala rasa buatmu, harus padam dan berakhir..
Lirik lagu utopia itu lah
yang kini mengganggu pikiranku. Aku menyanyikannya dalam benakku. Seolah lagu
itu lah yang sedang mewakili rasaku. Sampai aku tak sadar kalau aku sedang
menyanyikan itu dengan mulutku. Ku lakukan itu sambil mengisi kekosongan waktu
menunggu Anto menjemput. Akhirnya, Anto pun datang. Mungkin sekitar dua jam
dari sejak ia mengabari akan menjemput hingga sampai disini. Dan akhirnya aku
pun pulang.
“Ka, ami mau curhat, tadi
malem ami ga tidur. Ami nulis cerpen.. hehe jadi weh hari ini ga terlalu fit
badannya.” Kataku dengan berharap dia penasaran cerpen apa yang ku buat. Lalu
dia menjawab, “kayanya ada yang mau bilang istirahat deh hehe” katanya dengan
usil. Aku sedikit terkaget, aku agak lupa dengan kata-kata ku sendiri. Aku
mencoba cek ke chat sebelum-sebelumnya. Dan ternyata benar saja. Aku memang
mengatakan, “ iya ami juga mau istirahat hehe”. Aku malu jadinya. Tapi
bagaimana lagi, pada saat itu memang aku sedang tidak bisa tidur.
Seharian ini memang
melelahkan. Menahan rasa tidak enak badan sambil kuliah, belum lagi aku kurang
makan dan istirahat. Dalam perjalanan pulang tadi aku sudah tidak bisa konek
diajak mengobrol dengan Anto. Kekuatan ku sangat terkuras habis. Dan ketika
sampai di rumah, tanpa menggati baju yang tadi ku pakai dan belum sempat juga
ku melepas kaos kaki ku, aku langsung terlelap. Bak sebuah robot yang memang
sudah kehabisan baterai.
Pagi menjelang, mataku
mulai perlahan terbuka. Aku tersadar jika aku tidur memang seperti orang yang
kelelahan. Dan aku baru ingat jika hari ini aku ada ujian. Aku mulai bergegas
mempersiapkan diri. Aku juga ingat kalau semalam itu aku masih chat dengan Mas
Rifqi dan itu masih menggantung gara-gara semalam aku ketiduran dengan pulas.
Untunglah, dia bisa memaklumi.
Sehabis ujian, aku pergi
ke Laboratorium Instrumentasi. Ada rapat penting yang harus aku hadiri. Karena
aku mengambil matakuliah kelompok keahlian intrumen, aku jadi ikut komunitas
KOTARO (Komunitas pencinTa Robot). aku beruntung bisa mengenal orang-orang di
dalamnya. Karena baru kali ini aku memasuki suatu organisasi yang bukan karena
keiinginan ku sendiri, melainkan mereka lah yang merasa aku harus masuk ke
dalam dunia mereka dan melebarkan sayap komunitas ini. Aku memang seolah merasa
“terjebak”, karena jati diriku sebagai Astronomi malah harus berkecimpung di
dunia instrumen dan kerobotan.
Pembicaraan membuat kami
sedikit lupa waktu dan ternyata hujan turun sangat deras. Sambil menunggu hujan
reda, kami pun melanjutkan lagi walau harus sampai sore. Bosan memang jadinya
jika rapat terlalu lama begini. “aduh!~
sudah lelah lagi aja. Malam ini belum harus bergadang lagi belajar buat ujian
besok. Besok setelah ujian aku mau selesaikan cerpen Mas Rifqi. Lalu kapan aku
bisa istirahat? ” renungku. Kalau dipikir-pikir kegiatanku ini memang tidak
pernah habis. Padahal sks di semester ini tak begitu banyak ku ambil. Tapi
justru kesibukanku hampir sama ketika aku mengambil 24 sks full beberapa
semester lalu.
Terdengar suara cekikikan
di sebelah ku. Aku dengan reflek tersadar dan bertanya-tanya apa yag sebenarnya
terjadi. Saat ku melirik kearah temanku yang duduk hampir di sebelah ku.
Ternyata Deni dan Kak Winandar sedang
memainkan handphone ku. Aku agak kepo,
memangnya apa yg lucu di dalam handphone ku itu. Aku mencoba mengintip dan
ternyata, Oh My God!~. Kurebut hanphone
ku dari mereka dan mereka mulai menertawakanku. Ku pastikan lagi apa yang
membuat mereka tertawa dengan isi handphone ku. Feeling ku terasa tak enak,
saat ku lihat chatingan ku dengan Mas Rifqi ternyata benar saja, handphone ku
dibajak. Mereka mengirim pesan yang tidak-tidak. Tapi untunglah aku masih bisa
mengirimkan klarifikasi kalau pesan sebelumnya itu memang hasil bajak
teman-teman ku yang jahil.
“Kalian ya! Suuk!” kesalku
sambil menahan malu. (suuk = ‘dasar!’, pengekspresian kekesalan dalam konteks
candaan yang sering digunakan orang-orang di Bolabot) Aku juga sudah tahu,
mereka sudah membaca chatingan ku. Semoga saja mereka tidak membaca
bagian-bagian konyol yang membuat aku
bisa jadi bahan bully-an nantinya. Aku agak cemas, kira-kira Mas Rifqi akan
percaya atau tidak ya dengan itu. Aku
takut disangka modus, lagi. Belum lagi sebelumnya aku sering sekali tak sengaja
menelepon Mas Rifqi melalui whatsapp. Dan itu memang tidak sengaja. Aduh!~ aku
merasa telah sangat menganggunya hari ini.
Untunglah Mas Rifqi
percaya. Namun ia malah terlihat takut dan khawatir kalau Anto akan tahu. “hayolhoo
dilaporin ke pacarnyaa” katanya khawatir. Aku merasa itu tidak mungkin, karena
Deni dan Kak Winandar tidak kenal Anto siapa. Jadi aku tenang saja. “waduh aku
yang malah ga enak sama aminyaa” lanjutnya. “ga enak? Ga enak kenapa? Memang dia kenapa? Mengganggu apanya coba? ”
tanyaku terheran. “emangnya ga enaknya kenapa ka??” tanyaku langsung kepadanya.
“yaaa ga enak kan gara2 akuu hehe” jawabnya lagi. “apa maksudnya tu “gara-gara aku”? Mas Rifqi beneran suka aku ga sih?
Aku jadi penasaran. Aku harus buat dia membuat suatu pengkakuan! ” tekad
ku. Tapi dengan cara apa Mas Rifqi bisa seperti itu. Lalu ku pancing saja
dengan kata-kata ini, “haha selama ga ketahuan, gpp lah *eeehh.. hahaha” guyon
ku. “iiihh jangan gitu atuhlahh. Kalau ketauan gimana” kekhawatirannya nampak sangat jelas. Dalam logika ku, kalau
memang Mas Rifqi merasa biasa saja dia tidak akan merasa takut seperti ini.
Toh, banyak juga teman-temanku yang kebanyakan adalah laki-laki yang sering
chat denganku. Terutama yang paling sering adalah Sadam karena kita memang dari
asal-usul yang sama dengan ku –astronomi . Dan
mereka biasa saja tuh, tapi kenapa Mas Rifqi malah khawatir seperti itu.
Haha!~ tak bisa juga aku menahan tawa. Dalam hati ingin ku berterimakasih pada
Deni dan Kak Winandar, karena berkat mereka aku bisa menemukan fakta baru.
Melihat Mas Rifqi yang
sebegitu khawatir kalau dia akan ketahuan oleh Anto, aku malah yang merasa
tidak enak kepada keduanya. “sama dua2nya gimana??” dia kebingungan apa maksud
dengan kata ‘keduanya’. “yah malah nanya..” kataku sambil menahan tawa karena
aku tak tahu harus menjawab apa. “hmm aku?? Hehe #geer. Santai aja atuh.. kan
ami udah mau nikah malahan.. harusnya aku yang ga enak kan aku yang muncul
hehe” jelasnya. “apa lagi sih ini..
kenapa harus ada kata-kata ‘ga enak karena dia yang muncul’? Memang masalahnya
apa sih kalau dia muncul di kehidupanku? Haah!~ satu lagi dia bilang kata-kata
mencurigakan, aku sudah bisa pastikan kalau dia memang suka! ” yakin ku.
Lalu dengan percaya
dirinya aku pun menanyakan, “lagian kaka kenapa baper sama ami sih??” tanyaku
dengan lancang. Sudahlah!~ terlanjur blak-blakan. “ihh siapa yang baper?? Haha”
ledeknya. Aku benci ini, dia malah tidak mengaku. “emang maksudnya baper apa???
Biasa aja ko amiiii hehe” kelaknya. Secara analisis membaca sikapnya, kenapa
tanda tanyanya menjadi tiga? Biasanya jika bertanya ia mengirimkan hanya dua
tanda tanya. Seperti ada suatu penekanan terhadap pertanyaan yang ia berikan.
Seolah aku harus terpengaruh dengan pernyataan dibalik pertanyaan yang ia
berikan. Secara psikologi, ini memang aneh sih. Aku berusaha teguh dengan
keyakinanku kalau Mas Rifqi memang baper sama aku. Aku tidak peduli aku akan
dijudge apa nantinya. Itu lah kebenarannya, dan itu harus terungkap. Karena aku
adalah orang yang paling tidak bisa memendam sesuatu. “hmmm serius ihh.. kenapa
harus baper hayoo???” tanyanya lagi. Yampun!~ kenapa dia malah balik nanya,
justru pertanyaan itu yang aku ajukan terhadapnya barusan. Aku jadi agak kesal.
“Udah sih, ka.. mengaku aja, apa susahnya sih?! Langit tidak akan runtuh
hanya karena kita bilang suka atau hanya sebatas kagum. Aku juga manusia biasa
yang pastinya pernah mengalami itu. Tanda-tandanya sudah ku kenali dan sudah ku
pahami. Untuk apa menutup-nutupi sesuatu yang sudah jelas terlihat. Aku bisa
yakin, karena ketika kakak bilang “ngga”, justru perasaan itu semakin nampak
terlihat. Apa yang kakak perlihatkan di dalam chat, sangat tidak sesuai dengan
pernyataan yang kakak buat sekarang ini. Aku berpikir setelah pengakuan itu,
kita akan tetap berteman ko. Tidak ada suatu apa pun yang berubah atau apa pun
itu.” Aku sedikit kesal. “tapi memang
salah juga sih aku menanyakan hal itu, mungkin dia orang sulit untuk membuat
sesuatu pengakuan. Oke!~ gue stuck. Sial! kenapa gue terlalu blak-blakan sih?!
Bodoh, bodoh, bodoh!!! ”segera ku tersadar dari kebodohan yang baru saja ku
lakukan.
“ah sudahlah lupakan..
hehe tadinya itu kan buat ami bahas di cerpen” kataku sambil tersenyum manis.
Malu, ya aku merasakan itu. Aku sangat malu hingga aku tak bisa berkata apa-apa
lagi. Beberapa menit kemudian, setelah pikiran ku agak jernih aku pun tersadar.
“Bener juga yaa, kalau ami tahu alasan
Mas Rifqi baper sama aku, aku bisa membahas itu dan bisa ku jadikan “anchor”
untuk closing nanti. Yah!~ tapi harus mengaku dulu dianya. Kalau dia ga ngaku
juga, apa yang bisa aku tulis ya?! ” aku jadi bingung. Dan kenapa seolah
aku merasa tidak puas kalau dia belum mengaku juga. Padahal biasanya, kalau diriku
ini sudah mengungkapkan sesuatu, ya sudah selesai. Aku tidak akan baper lagi.
Karena baper yang terpendam itu menguras tenaga dan membuatku semakin lelah.
Tapi justru perasaanku ini lain, kenapa aku malah tidak mau menghilangkan rasa
baper ini ya? Sial!~ ujian macam apa ini.
“kayanya sih biasa aja..
tapi mungkin ami ngeliatnya lain.. jadi mungkin ami bisa cerita haha” jawabnya
lagi. “apa aku menyerah saja? Sudah lah,
aku takut ini akan berujung tidak baik..” pikirku. “hemm yaudah anggap aja
ami yg kegeeran..” kataku sambil menahan kesal. “Maafin ami ya ka, udah
mengintrogasi kaka.. aduh ami salah langkah euh..” kataku menyerah. “pertanyaan
yang ami minta alasan, lupakan saja lah ya..” lanjutku. “haha salah langkah apa
kenapa?? Ihh aku bingung malahan jadinya. Ga mau ah jelasin dulu..” paksanya
sambil setengah meledek. “heuh, disuruh
ngaku ga mau, tapi malah nyuruh aku ngaku.. dasar cowok! Kalah gentel sama
wonder girl kaya gue..” dumelan ku sambil menghibur diri sendiri.
“iyaa ami kan lagi nyari
ending ceritanya, kalau nunggu sampe cerita
kenyataannya selesai, ami kapan selesai nulisnya.. tadinya itu buat jadi
pembahasan antiklimaks gitu ka.. alasan kenapa kaka kaya yang seneng ami chat,
kenapa suka ada pertanyaan2 yang bikin ami seneng.. dll.. puas?? Tuh kan ami
jadi jujur duluan.. aaaaahh!! Kaka suuk!!” kesalku sambil senyum-senyum
sendiri.
“haha emang kenapa kalau
jujur duluan?? J puas ga ya?? Hehe santai aja mi.. gapapa ko.. hmm perlu
dijawab kah?? Hehe” tanyanya yang membuatku semakin meleleh. Aku harap ia akan
langsung menjawab. “hmm, kebiasaan.. -_- masalahnya itu.. ami terlalu jujur
soalnya. Ga bisa memendam sesuatu.. terserah lah, ami dari tadi udah nanya
juga..” kataku, dengan perasaan antara kesal dan senang. “haha bagus atuh jadi
orang jujur.. yaa meskipun ada beberapa hal yang mungkin ga perlu diomong
daripada bohong hehe” jawabnya. “jadi semua omongan ami ga peting ya..” keluhku.
“yah aku pikir mau langsung dijawab..” lanjutku. “ihh emang aku bilang ga
penting ya?? Kan ga bilang gitu hehe.. hmm aku bingung jawabnya hehe” jawabnya
dengan ekspresi tanpa dosa. Perasaan ku mulai beralih ke lebih banyak perasaan
kesal dari pada perasaan senang. Apa dia tidak menyadari aku mengharapkan
jawaban itu? “hemm, iya tapi kan ami ngerasa gitu ka.. ya sudah lah.. -_-“
kataku kecewa. “ihh maaf maaf bikin ami ngerasa ga penting hehe ^_^” katanya.
“ih itu emot apa coba maksudnya? Bikin ami makin bertanya-tanya..” aku semakin
kesal. Aku benar-benar dibuat stuck olehnya. Aku malah terjerat perangkap ku
sendiri. sial!~
* * * * *
Still TO BE CONTINUE
Epilogue
“Obsessed”, Miley Cyrus
Why do I just lay awake
and think of you
I need some sleep
Tomorrow I have things to
do
Everytime I close my eyes,
I see your face
So I try to read
But all I do is lose my
place
Am I obsessed with you ?
I do my best not to want
you
But I do all the time
I do all the time !
I just had to call you up
and say hello
I know it's 3 AM
And I saw you a while ago
But I still had this
aching pain
To hear your voice
To know you're there
I don't seem to have any
choice
Ohh, yeah !
I'm so sorry, I just had
to wake you up
I feel so lonely by myself
Is this the way it feels
when you're in love ?
Or is it something else ?
Yeah !
Want you all the time !
I want you all the time !
Lagu itu seolah menggambarkan
situasiku saat ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Perasaan
ini begitu cepat hadir dan terlalu cepat juga ku terjemahkan. Seolah aku ingin
menyalahkan percakapan yang pertama kali aku lakukan dengannya. Kenapa semua
ini menjadi ribet? Hanya berharap saja kalau dia akan menemukan wanita yang
lebih baik daripada aku. Aku sadar jika aku mengharapkan yang lebih jauh lagi,
rasanya seperti mengharapkan dapat memeluk Bulan. Aku sadar siapa aku ini. Aku
pun sadar sedang dimana aku berdiri. Jadi semua ini tak lebih dari sekedar
“obessesed”.
Jika tak bisa dilupakan, maka
janganlah dipaksakan. Setiap hari yang terlewati adalah kenangan. Setiap
langkah adalah perjalanan. Dan setiap masalah adalah pembelajaran. Suatu saat
kau akan mengenang hari ini bersama dirimu sendiri. Maka akan sulit memang
untuk membuat lupa kenangan ini.
Bila dapat ku tuliskan secarik surat
cinta, aku tak akan pernah menuliskan puisi diatasnya. Bila aku bertemu
sekeping cinta, aku tak akan mengukir kebohongan diatasnya. Setiap kejujuran
pasti ada keadilan yang mengikutinya. Aku memang tidak pernah memikirkan
seberapa besar resiko yang akan dihadapi bila kejujuran itu menentang sesuatu.
Namun aku percaya, setiap sejujuran itu bernilai, bahkan mahal harganya. Ntah
semua jalan hidupku akan kacau atau pun langit akan runtuh karena kejujuranku,
tapi aku tahu bahwa akan ada hikmah yang nilainya tak bisa dibandingkan dengan
alam semesta sekali pun.
Aku mengaku aku suka kepada mu, Mas. Tapi itu karena kau yang memulai.
Aku jadi terjebak dalam hal ini. Senangnya diriku bisa dilirik orang seperti mu
membuat aku terlalu exaited. Namun mungkin dirimu ada benarnya. Dirimu memang
biasa saja, dan aku yang terlalu berlebihan menganggap semua itu nyata. Padahal
seharunya aku pertahankan mindset ku yang mengatakan semua hal yang kau lakukan
itu hanya normal. Hanya sebuah etika umum atau semacamnya. Dengan begitu aku
bisa menjaga batasanku dan melihat lagi kedalam diriku seberapa pantaskah aku
bisa mengatakan ini. Tapi aku berharap bahwa mindset itu salah.
Apa setelah ini? Aku tidak tahu.
Untuk bertemu lagi denganmu saja, rasanya
hanyalah sebuah obsesi yang ntah kapan akan tercapai. Namun bila kita
bertemu lagi, aku harap akan selalu ada
kata “Bro” diantara kita. Ok!~ just be a friend, friend like my best
friend.
Itu adalah isi dari sub
judul terakhir dalam cerpen yang menceritakan tentang Mas Rifqi. Sebanyak 20
halaman, cerpen itu telah berhasil memuat semua isi hati dan pikiran yang
membuatku tak bisa tidur akhir-akhir ini. Aku ingin sesegera mungkin
mengirimkan cerpen itu kepadanya. Sebelum ada inspirasi lain yang membuat aku
tergiur untuk menambahkan isi ceritanya lagi. Bisa-bisa inti ceritanya kacau,
nanti!~ Alhasil, cerpen itu tak ku edit lagi. Untunglah, saat sedang
pengerjaannya aku banyak-banyak mengedit sehingga setelah jadi aku tak perlu
mengeditnya lagi.
Lega sekali rasanya telah
mengirimkan cerpen itu. Ku anggap cerpen ini adalah cinderamata sebagai
apresiasiku karena sebentar lagi dia akan diwisuda. Dan aku harap ia akan suka
dengan cinderamata yang ku berikan. “Bagaimana
ya tanggapannya nanti? Apa dia akan ilfeel sama aku karena aku terlalu
blak-blakkan? ” cemasku.
Sepertinya dia mulai
membaca cerpenku. Sedikit demi sedikit dia mulai mengomentari cerita yang ku
tulis. Mungkin dia akan senyum-senyum sendiri melihat isi cerita di dalamnya.
Karena aku tahu, dia juga mengalami hal tersebut. Ntah itu sesuai atau tidak
dengan yang ia rasakan sebenarnya. “ini mah bukan fiktif neng hehe. kirain pas
neng bilang fiktif mah alurnya sama tapi nama tokoh trus tempat gitu2nya beda..
hehe” celotehnya. Aku tertawa keras membaca pesannya itu. Sudah ku duga
sebelumnya dia akan berkomentar seperti itu
karena sebelumnya aku mengatakan bahwa cerita ini hanya fiktif, kesamaan
tokoh, cerita dan tempat bukan unsur kesengajaan dan hanya untuk hiburan
semata. Haha!~ aku berkata begitu hanya untuk mencegahnya berfikiran yang
aneh-aneh.
“hmm mau minta maaf ahh
sama amii hehe” katanya setengah meledek. Aku tidak tahu apa maksud dari
pembicaraannya. Aku merasa dia tidak melakukan kesalahan apa-apa. Tapi
lama-lama aku mulai sadar, maksud dari kata minta maafnya adalah semua hal yang
aku tulis tentang semua hal yang ia lakukan kepadaku. Biarpun aku belum tahu
secara pasti. Seperti biasa, dia tidak mau mengaku apa alasan sebenarnya. Lama
kelamaan aku pun kesal, dan aku akhirnya berhasil membuatnya berterus terang, “aku
jadi ga enak ganggu ami.. kan bentar lagi mau nikah aminya hehe” katanya. “kata
siapa kaka ganggu hubungan ami?? Hubungan ami sama dia baik2 aja ko.” Jawabku
dengan datar. “ya kan aku ngerasa gitu”
jawabnya lagi. “terus kenapa mesti ga enak?? Emangnya kaka merasa jadi
orang ketiga??” bukannya kemarin bilangnya biasa aja yaaa.. ga sesuai kan,
ucapannya dan kenyataannya..” keluhku kepadanya. “bukan gitu juga ihh hehe takutnya pacar ami
ngerasa gitu..” dia mencoba menjelaskan lagi.
Aku pun berusaha menjelaskan bagaimana karakter Anto yang tidak
cemburuan. Tapi aku malah dinasehati, “tapi tetep harus dijaga atuh ami,, haha
yaa ga ada apa2 sih tapi dalam hati sama pikiran orang lain kan kita ga tau..”
katanya. Aku malah jadi merasa bersalah, “iya ka, tenang aja.. makanya ami
pengen mengklarifikasi dulu. yaudah maafin ami ya, udah baper sama kakak.. ami
udah salah nilai.. gomennasai!~” kataku dengan ekspresi sedih. “haha
klarifikasi apa?? Dan salah nilai apa?? Kan belom tentu ami salah hehe” katanya
lagi.
Yampun!~ kata-kata yang
baru saja dia ucapkan, bagaikan kampak yang sudah memotong setengah leherku
–aliyas tanggung! Kalau ingin membunuh, bunuh saja sekalian, kalau tidak ya
tidak sekalian. Aku jadi semakin sulit bernapas menahan rasa penasaran ini.
“aku ga sama sama ami,
hehe aku bukan orang yang gampang ngungkapin sesuatu secara eksplisit baik itu
ide, pendapat apalagi menyangkut perasaan haha misterius?? Haha ga juga sih
tapi hmmm” jelasnya dengan setengah bercanda. Aku tak bisa berkata-kata karena
aku sendiri bingung apa yang ia bicarakan. Tapi yang aku tangkap dia sama
sekali tidak menjawab pertanyaan ku.
“Jadi kesimpulannya apa??
Hehe” tanyaku dan dia pun benar-benar tidak menjawabnya. “pendapat ami tentang
kakak, itu bener ga?” tanyaku lagi. Pertanyaan ini sebagai langkah lain untuk
menjebaknya agar aku mendapat pernyataan yang benar-benar aku inginkan. Dia kebingungan,
karena pendapat yang aku buat memang banyak, dan dia tidak tahu pendapat mana
yang aku maksudkan. Aku tak punya pilihan lain, jika aku menginginkan dia jujur
maka aku pun memang harus jujur. Mungkin sebelumnya aku belum pernah mengatakan
pure kejujuran ku. Jadi, dia pun enggan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya
ia rasakan.
“yaaa, yang nganggep
kalau..... kalau kakak baper sama aku” kataku sambil menahan tawaku. Aku
pura-pura panik kalau aku keceplosan saja, agar tak terlalu malu. “hmm baper
itu apa sih?” tanyanya yang berusaha terus mengelak. Dia masih terus saja
berusaha menutupi. “yaudah deh ami ganti kata baper sama “suka”..” aku masih
mencoba sabar menanti jawabannya. Aku rasa aku telah menggunakan kata-kata
jabakan kepadanya. Dan aku harap dia tidak bisa lari kemana-mana lagi. Aku rasa
dia sudah ‘skak’. Haha!~ aku hanya tinggal menanti jawabannya saja. “ko sukanya
di tanda kutip?? Hmm no comment ah” jawabnya dengan ekspresi ingin tertawa dan
mencoba lari dari masalah. Aku ingin tertawa selepas-lepasnya mendengar
jawabnnya itu. Bak, seekor kucing yang sudah tertangkap basah mencuri makanan,
lalu ketika majikannya hendak menghukum kucing itu tiba-tiba kucing itu memelas
memasang wajah imut dan lucu. Dengan harapan majikannya akan merasa iba dan
berhenti mencoba menghukumnya.
Ya!~ itu adalah sebuah
jawaban untukku. Terkadang diam itu adalah mengakui. Aku tidak perlu mendengar jawaban ‘ya’ jika
dia tak sanggup untuk mengatakannya. Aku senang bukan kepalang. Aku rasa semua
spekulasi yang ku buat adalah benar adanya. Dan walaupun aku belum benar-benar
berhasil membuatnya mengakuinya, tetapi aku tahu. Bahwa jebakan yang sudah ku
pasang sejak awal itu memang berhasil membuatnya tak berdaya untuk tidak
berkata “ya”.
Dia mencoba mengelak
ketika ku simpulkan sendiri apa jawabannya. Tapi dia juga terlihat senang
karena simpulan yang ku buat bukanlah sesuatu yang salah –sepertinya. Aku
merasa kasihannya kepadanya, karena dia tidak bisa berkata jujur namun untuk
berbohong pun ia enggan. Aku merasa bersyukur karena pernah berkata bahwa bila
aku bertemu sekeping cinta, aku tak akan mengukir kebohongan diatasnya. Aku
rasa, kata-kata itu telah mengubah mindsetnya agar tak berkata bohong, walaupun
berkata jujur pun ia belum bisa melakukannya. Haha!~ aku senang sekali karena
ini.
2.14 am. Tiba-tiba aku terbangun dan tak bisa ku pejamkan mataku
lagi. Padahal sebenarnya aku masih sangat mengantuk. Lalu ku buka handphoneku
dan dengan reflek aku langsung melihat Whatsapp. Rasa obsesi yang semakin
meningkat, membuatku semakin berharap ketika bangun pagi akan ada chat dari Mas
Rifqi. Aku semakin bingung dengan apa yang terjadi dalam diriku. “aku pikir
setelah ku kirim cerita itu, semua ini akan berhenti sampai disini.. tapi
kenapa malah semakin berkepanjangan sih? Haah!~ sebenernya ami ini kenapa sih?!
Ngasih cerpen udah, ngungkapin isi hati udah.. tapi kenapa malah semakin
berharaaaaap?” gumamku dengan keras sembari muka ku ditutupi bantal agar tak
ada yang dengar ucapanku. Seketika dadaku merasa lega. Namun beberapa menit
kemudian jantungku malah semakin berdebar dengan lebih keras dari yang
sebelumnya. Lama-lama aku semakin kepikiran dan mulai berkhayal yang tidak
masuk akal. Aku membayangkan bagaimana ketika aku bertemu dengannya. “heum, aku tidak yakin saat aku bertemu
dengannya nanti. Apa aku akan terkejut saat melihat wajahnya..? eh, by the
way.. ngomong-ngomong soal wajahnya, aku sendiri tidak ingat persis wajah dia
seperti apa.. haha konyol! Kenapa aku merindukan seseorang yang aku sendiri
lupa wajah dia seperti apa? Haha” aku tertawa dalam hati dan membuat aku
jadi senyum-senyum sendiri. Aku sendiri merasa aneh, kenapa aku selalu
melakukan hal-hal yang tak pernah orang lain lakukan. Apa aku semacam ‘anomali’
yang berpijak di bumi ini?
* * * * *
The power of speechless
Kemudian
aku membuka handphoneku lagi dan membuka facebook. Aku mencoba menjadi stalker
yang belum pernah ku lakukan sebelumnya. Waktu aku belum pacaran sama Anto
saja, yang menjadi stalker dia malah temanku. Aku hanya menunggu informasi
saja. Tapi sekarang ini, kenapa aku jadi melakukannya sendiri? Aku kepo-in
facebooknya. Dan rupanya banyak fakta baru yang aku ketahui.
Pertama,
aku baru mengetahui nama lengkapnya adalah Rifqi Wisnu Aryawardhana. Nama yang
bagus menurutku. Kemudian aku menelusuri kronologinya. Di tanggal 19 oktober
2015, ada seseorang yang memposting foto. Itu adalah foto dia dengan temannya.
Dia terlihat memakai baju koko putih dan memakai kaca mata. Persis seperti saat
pertama kali bertemu, dia juga memakai kaca mata. Aku jadi tak sulit untuk
mengingat wajahnya lagi. Di foto tersebut, dia terlihat sedikit tersenyum yang
membuat lesung pipinya terlihat jelas. Oh God!~ aku meleleh lagi. Kemudian aku
melihat ada foto yang diposting oleh Mas Rifqi sendiri pada 9 Oktober 2015. Dia
memakai seragam kemeja putih dengan sedikit aksen batik di pundaknya. “Welcome
Aboard KRI Teluk Bintuni-520”. Tulisan itu terpampang jelas disamping dimana
dia berdiri. Aku tidak tahu apa artinya itu. Aku memang penasaran kegiatan apa
yang ia lakukan itu, tapi aku tidak jago menjadi stalker. Aku tidak tahu harus
ku apakan informasi-informasi yang sudah ku dapatkan. Jadi aku lanjutkan saja
ke postingan-postingan selanjutnya.
26
Juli 2015. Postingan yang dikirim seseorang bernama Sarah Sella Santika. Ada
banyak yang ia posting, dan itu adalah postingan foto-foto semacam “Hangout
with Happy Family Moment” gitu. Aku senang melihat kedekatan keluarganya. Aku
tersenyum kagum. Kelak akan ada seorang wanita yang beruntung dan akan
merasakan kedekatan itu. Aku membayangkan, jika wanita itu adalah aku. Aku rasa
aku tidak akan bisa sampai dititik itu. Karena, aku sendiri merasakan bagaimana
keluarga sendiri yang tidak begitu dekat. Bahkan aku terkadang merasa kalau
keluargaku adalah teman-teman ku di Bolabot saja. Dengan keluarga Anto pun aku
tidak bisa terlalu dekat, terutama dengan calon mamah mertuaku. Dan itu hanya
karena satu alasan, aku tidak supple. Dan itu yang membuatku merasa semakin
aneh ketika aku bisa sesupple saat baru pertama melihat Mas Rifqi. Aneh bukan?~
Kemudian aku melihat-lihat
lagi. 13 Desember 2014, “Lest go to Indonesia J haha” seseorang memposting itu dengan foto yang
terlihat seperti belatar belakang di sebuah Bandara. Dan benar saja, di dalam
postingan tersebut, berlokasi di Bandara Internasional Chiang Mai. “Wah!~
kereeen!~ Ternyata dia udah jalan-jalan ke Thailand” takjubku.
Aku
juga tahu, hari kelahiran Mas Rifqi adalah tanggal 7 di bulan agustus. Aku
tertegun, seolah tak bisa ku ungkapkan apa yang harusnya ku ungkapkan. Ternyata
banyak fakta menarik yang baru terungkap. Aku pun seolah baru membuka mataku
disaat yang lain sudah melangkah jauh pergi meninggalkanku. Lalu ada fakta yang
lebih mengejutkan dari itu.
Alhamdulillah
Saya ucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan kontribusinya dalam memberikan warna di
kehidupan saya selama empat tahun belakangan hingga mencapai titik ini. Terima kasih kepada kalian yang telah menyempatkan diri untuk hadir dan terima
kasih atas kenang-kenangan yang kalian berikan. Untuk yang tidak sempat hadir,
terima kasih atas doa dan ucapan selamat yang kalian berikan J
Semoga kenangan ini akan menjadikan semangat
untuk menghasilkan karya yang bermanfaat untuk semua orang di sekitar saya J
“Bo!?”
kagetku. (Bo = apa, dalam bahasa korea). Aku terdiam. Tiba-tiba jari-jari ini
kaku untuk digerakan. Aku speechless!~ melihat postingannya di tanggal 14 Juli
2014. Ekspresi shock yang seolah terkunci rapat dan tak bisa ku mengubahnya.
Aku diam tak bergerak untuk beberapa menit. Hingga aku pun bingung apa yang
seharusnya aku pikirkan. Tiba-tiba, “Teteh, ke Bolabot ga? Ini udah jam 6..”
Panggil adik ku. “mm?! Ehh, ii.. iya..” seketika aku terkejut mendengar adikku.
Aku pun segera tersadar. Aku lihat handphone ku lagi untuk melihat jam. Ya
ampun!~ sudah berapa lama aku terdiam tadi? Aku sampai tidak sadar matahari
sudah terbit. Aku segera membuka jendela kamarku, silau matahari yang sudah
tinggi membuat silau mataku.
“Haaaaa!~
apa ini?! Ternyata wisuda ini, adalah wisudanya yang kedua kali.. oh my God!~
jinjja..? jinjja..? jinjja? jinjja? jinjja? jinjja? jinjjaaaa..?!!” dumelan ku
setengah menahan tangis karena tersadar aku ini memang konyol sejak awal. (jinjja
= apakah ini nyata, dalam bahasa korea). Dengan suara keras aku terus
berceloteh tak jelas di kamar mandi. “stupid ami, stupid ami!! Apa yang harus
ku lakukan sekarang? Aku benar-benar sudah bertingkah tidak sopan kepadanya.
Aku sudah malu karena mengungkapkan rindu kepada Bulan yang seharusnya hanya
bisa dilihat saja oleh manusia di Bumi seperti ku. Aku rasa, harapan ku untuk
bisa selalu ada kata “Bro” diantara kita itu tidak akan bisa tercapai.
Seharusnya aku tetap memanggilnya “Mas”, atau aku panggil dia Bapak. Ke Pak
Ridlo aja aku panggil “Pak”, kan?! Ah!~ eottoke?!! Dia lebih cocok menjadi
dosenku daripada menjadi teman dekatku. Tapi aku tidak mau seperti itu...
aaaaaarrgh!!” aku berceloteh di kamar mandi sambil mencuci wajahku dengan
facial wash. Aku menggosokkannya dengan kasar, seolah aku ingin perasaan yang
kalut ini cepat hilang. Perih di mataku karena sabun pencuci muka sudah tak ku
rasakan lagi karena aku fokus pada perasaan ku yang sudah semakin kacau.
Satu
jam kemudain aku sudah sampai di Bolabot. Ketika aku datang, rupanya para
penghuni Bolabot yaitu Deni, Kak Winandar, Cecep dan Kak Rizky sedang sarapan
pagi. Aku ditawari untuk bergabung. Aku juga ingat kalau aku juga belum
sarapan. Makan satu piring dengan mereka adalah hal yang biasa. tapi perasaan
yang tiba-tiba tak nafsu makan itu sangat tak biasa. Aku pun di-bully Kak
Winandar. “Mi, biasanya mau naikin berat badan mi, kenapa jadi pura-pura diet
gitu?” bully-nya sambil tengah mengunyah makanan. “aaahh!! Ami terlalu baper
jadi ga nafsu makan..!” aku berkeluh manja pada mereka. “Baper sama siapa ai
kamu?” tanya Kak Rizky. “Baper sama anak ITB...” jawabku makin manja. “euh,
kamu rugi atuh.. kalau makan mah makan aja.. belum tentu juga dianya lagi
mikirin kamu..” kata Kak Rizky menasehatiku. “Iya ih, mungkin dia mah lagi
enak-enak sarapan.. kamu nya malah diem aja..” tambah Kak Winandar. “Mi, ini
enak lho mi..!” Deni ikut mengejekku. Dia berusaha menggodaku agar aku tergiur
dengan makanan yang mereka makan. Namun aku tidak tertarik sama sekali. “hmm
atuh...” keluhku seperti anak kecil yang hendak akan menangis. “kayanya
perasaannya lebih mending waktu ditembak A Win dari pada baper sama orang itu.
Soalnya perasaan ditembak A Win mah ga serudet ini..” ledekku membalas. Semua
pun tertawa.
Aku
meninggalkan mereka dan tidak jadi ikut sarapan. Aku langsung inisiatif untuk
mengirim pesan pada Mas Rifqi. “Pak, ngajar di UIN lah.. Di UIN ga ada dosen
astro soalnya..” kataku dengan ekspresi menangis. “isshh dipanggil Pak lagi..”
jawabnya dengan ekspresi kesal. “hehe abis aku baru tahu, kalau dirimu sudah
S2.. Bulan nya sudah semakin jauh..” kataku. “ih tau darimana??” dia terkejut
setengah senang karena aku mengetahui juga yang sebenarnya. Aku pun jujur kalau
aku baru saja stalking dia di facebook. “kenapa ga stalking dari awal?? Ga ahli
yaa haha jangan2 semalem begadang lagi nih buat stalking.. hmmm” katanya
meledek. “soalnya ami fokus bikin cerpen pas awal2..” jawabku dengan polos.
“ntar sakit lagi loh gara2 begadang haha” katanya meledek lagi. Padahal aku
tahu itu adalah kata-kata perhatian yang diajukannya untukku. Ke-PD-an lagi!~
“dapet apa aja emang dari
stalkingnya?? Ntar abis stalking gini jadi cerpen dah wkwkwk” katanya dengan
puas menertawaiku. “abis gara-gara obssesed ka.. mendadak jadi insomnia. Ga ka,
ami langsung jadi speechless. Ah!~ sudahlah..” jawabku lagi. “obssesed sama apa
hayooo.” Katanya lagi. Kali ini aku benar-benar malu karena sekarang aku jadi
bahan ejekkannya Mas Rifqi. “Eh speechless kenapa” tanyanya yang tiba-tiba
terheran. “ih tuh kann tuh kann hehe” lanjutnya yang mengeluh kesal karena aku
suka mengatakan kalimat-kalimat penyesalan. Mungkin ini sudah kesekian kalinya
dia mendengar hal itu. “pake nanya sama apa?” kataku kesal. “speechless...
soalnya kaka zodiaknya leo..” lanjutku. “hmm atau sama siapa??” katanya dengan
gembira. “then why?? Masalah memangnya??
Haha ga boleh percaya tuuhh sama astrologi J kan belajarnya astronomi”
lanjutnya lagi yang terlihat semakin bahagia. “bukan gitu.. ami juga lahirnya
agustus, kakak..” jawab ku datar. “hmm tau koo tauu..” katanya. Aku terheran,
kenapa dia tiba-tiba bilang sudah tahu? “jangan2 kakak udah stalking ami”
kataku penuh curiga. “ih kepedean” dia malah meledek lagi. “trus speechless
kenapa lagi selain bulan lahir sama kuliahku?? Haha ami kalau mau belajar
stalking sama mas evan tuh wkwkwk sebagai senior yang baik dia akan mengajarkan
ke junior2nya wkwkwk” tambahnya. Ejekkannya semakin menjadi-jadi. Aku pun jadi
ingin tertawa karena itu.
“kenapa tau speechlessnya
banyak??” aku bingung, aku rasa keadaan sudah berbalik sekarang. Sekarang
giliranku yang mulai terjebak. “hmmm, ami mah daripada stalking, mending
langsung nanya kak..” tambahku. “tau doongg haha ayoo sebutin satu2” paksanya.
“hmm, ga mau ah.. mahal herganya kejujuran ami tuh” balasku. Aku tak bisa
menahan tawa. Dan rasanya sebentar lagi
aku mau pingsan karena kekonyolan ini.
* * * * *
Kata-kata yang dinanti
“jangan2
kakak udah stalking ami” kataku dengan penuh kecurigaan. “ihh kepedean” Mas
Rifqi mencoba mengelak. “Ga usah mengelak lagi kak.. akui saja.. emangnya susah
ya tinggal bilang iya..” kesalku. Aku mencoba yakin dengan pendirian ku. “aku
ga mengelak koo.. tapi aku juga ga meng-iya-kan hehe” ujarnya. Hah!~ aku benci
jawaban seperti itu. “hmm trus kenapa bisa tau kalau ami lahirnya bulan agustus
juga??” tegasku. “haha” dia hanya tertawa. Seperti biasa dia selalu membuat aku
penasaran. “kan tadi ami bilang.. jadi tauu” katanya dengan senang.
“kaka
curang. Rasanya ami udah cerita segalanya tapi ami blm mendengar satu kata pun
cerita dari kaka..” keluhku. “ahh belom ahh.. ditanya speechless kenapa juga
belom hehe yang kemaren seneng kenapa juga belom haha.” Dia malah membolak-balikan
kata. Dia curang sekali, aku mengetahui tentangnya karena usaha sendiri. tapi
dia mengetahui tentang ku dengan mudah. Dia hanya tinggal menunggu ku untuk
menceritakan semuanya. Aku pun tak mau kalah olehnya. “ngaku dulu sama
pertanyaan ami.. kaka suka sama ami ga??” balas ku dengan nada mengejek. Aku
berharap dengan kata-kata itu aku akan bisa mendengar kata-kata yang ingin aku
dengar sebelumnya. “waduh haha kemaren kan ami bilang udah tahu jawabannya
hehe” dia masih terus saja mengelak dari hujaman desakkanku. Aku rasa orang
yang susah untuk mengatakan hal yang sebenarnya haruslah didesak. Semakin
didesak makin sesaklah dia. Dan lama-kelamaan dia akan lelah sendiri karena
menahan sesaknya itu. “iya udah berarti memang iya, kan” kataku dengan bangga
atas pernyataanku yang sebelumnya bahwa Mas Rifqi memang seperti apa yang aku
pikirkan.
“jadi
agustus 95 yaa J” tanyanya memastikan. “iya dan kaka 7 agustus 1993” jawabku.
“haha ini mah pasti stalkingnya dari fb yaa..” tebaknya. Heuh!~ andai aku
sebuah software, aku akan mendeteksi kata-katanya. Akan aku lihat maksud semua
kata-kata itu. “Kenapa dia malah
membicarakan hal yang lain-lain?! ” kesalku dalam hati. “hmm menurut
kakak?? Haha” kataku dengan nada mencoba untuk sabar. “pasti ga akan dijawab
lagi” kataku pasrah. “hmm bener ga yaa?? Hehe kalo ami mah pasti iya dari fb
soalnya sosmedku yang lain ga aktif haha” lanjutnya. Dia ini memang
bertele-tele. “iya deh iyaa..” jawabku yang masih sabar. “aaaaarrg! Ayooo dong ngomoooong!! ” aku semakin geram. Hati dan
perkataanku mulai tak sejalan. Tapi aku harus bisa menahannya. Karena ini
adalah goal yang sudah sejak awal aku tunggu-tunggu. Ya!~ aku harap begitu.
“mau dijawab nih?? Hehe
apa udah cukup sama jawaban ami sendiri hehe” katanya lagi. “huaaaa!! Si kakak, suuk banget lahh!! Bunuh
aja aku deh kaaak! Malah nanya lagi.. yampun!~” aku sudah tak tahu caranya
menahan kesabaran ini. “jawab atuh kaaa..” keluhku dengan ekspresi menangis.
Aku harap ia merasakan kekesalanku. “ih malah nangis haha” jawabnya. “Astaghfirullah!~ sabar ami..! sabar!! ”
aku menahan kegeramanku padanya. “yaudah
ami senyum atuh ^_^” kataku dengan ‘sok’ manis menutupi kekesalanku. Aku harus
meng-upgrade level sabarku kali ini.
“abis itu lanjutin
cerpennya ya tapi” katanya mengajukan syarat. Aku jadi bingung, kalau aku
lanjutkan lagi, apa yang akan aku ceritakan? Dan aku harus mulai lagi dari
mana? “kenapa gitu ka pengen dilanjutin??” tanyaku. “Aduh!~ bodohnya diriku. Kenapa malah kutanyakan lagi? Ini akan
membuatnya semakin bertele-tele nantinya.” sadarku. “iya deh oke J
J” lanjutku lagi dengan sedikit terpaksa. “Jawab iya saja dulu, soal setuju atau tidaknya lihat nanti saja. Haha!~”
pikirku. “yang pertanyaanku dijawabnya lewat cerita aja haha” jawabnya. Heuh!~
sudah ku duga dia tak akan langsung menjawab. “Ok ka!! Apa sih yang ga buat
kaka master..” rayu ku dengan ekspresi tertawa sambil menangis menandakan aku
sudah lelah bersabar menanti jawabannya. “haha banyak ko yang ga bisa buat aku”
katanya. “heumm!! Kak bisa ga sih sedikit to the point!” kesalku hingga aku
berbicara sendiri. Aku jadi merasa bersalah telah mengucapkan hal itu. Tadinya
kata-kata itu hanya untuk mempercepatnya mengatakan kejujuran kepadaku. Tapi
aku salah memilih kata-kata. Ya!~ menjadi tidak sabar memang akan menjadi tidak
baik. “silakan dijawab kakak..” pintaku dengan lembut. Kali ini kesabaranku
berhasil di-upgrade.
Finally!~ 26 Maret 2016,
8:47 am, “hmm baiklaaah aku ngaku dehh.. tapi aku ga tau batasannya sejauh mana
sampai bisa disebut suka.. yang pasti memang ada ketertarikan sama ami hehe
sudah ahh sukup segitu ajaa.. nanti aminya guling2 ga jelas lagi haha” jelasnya
sambil nada meledekku. Ya!~ aku tahu dia sedikit malu dengan kata-kata itu, dan
aku mulai tertegun “tapi apa yang bisa
aku lakukan? Guling-guling ga jelas seperti yang ia katakan? Atau melompat dari
lantai 2 Bolabot? Atau aku harus mengatakan hal konyol lainnya lagi? Aku dibuat
speechless lagi oleh nya. Rasanya aku mau meleleh. Apa yang bisa membuat ia
tertarik kepadaku? Hal special apa yang dia lihat saat itu? Aku ini hanya
mahasiswi yang dong-dong!~ aku juga tidak memiliki bakat apa pun? Apa karena
aku cantik? Hmm, aku rasa itu alasan klasik. Lagi pula aku ini tidak cantik.”
Pikiranku yang agak sedikit konslet.
“kenapa kaka tertarik sama
ami?? Ami kan konyol” tanyaku. Aku sudah tak bisa berkata apa-apa lagi makanya
aku hanya bertanya begitu. “ko berlanjut pertanyaannya hehe” jawabnya. Heum!~
dia mulai lagi. “hmm ga mau jawab ah untuk yang itu.. hehe ami juga ga jelasin
ko di cerpennya” ledekknya lagi. “aku jelaskan ko.. aku kan bilang, aku baper
sama kakak gara2 kakaknya yang bersikap seolah baper sama ami. Jadi weh akunya
ke-PD-an” aku mengelaknya. “kayanya ada yang nulis “tapi perangkap ku sudah
menjeratnya dalam-dalam.” Deh hehe tapi ko dia yang kePDan yaa hmmm” gumamnya
heran. Aku tahu sebenarnya jawabanku tadi hanya akal-akalan saja karena aku tidak
mau kalah. Padahal dari kata-kata ‘menjeratnya dalam-dalam’ masih ada kata-kata
selanjutnya, yaitu “hingga aku pun susah keluar dari situasi ini.” Dan maksud
dari kata-kata itu adalah aku yang menjebaknya namun jebakan itu pun ikut
menjeratku kedalamnya. Namun pada saat itu, aku sendiri lupa apa maksudnya.
“kalau nanti ami sudah
berkeluarga jangan mencintai dan menyayangi karena alasan tertentu, kalau nanti
itu hilang bisa jadi hilang perasaan ami.. apalagi kalau alasan itu duniawi.. J”
katanya menasehatiku. “hmm baiklah!~..
itu adalah pengungkapan bahwa dia sebenarnya tertarik tanpa alasan. Hahaha
rasanya lebih enak disebut dengan ‘cinta tanpa alasan’ menurutku..” Aku tertawa
senang dan menghibur diriku sendiri. “hmmm oke jadi alasannya... kakak tulus
nih, tertarik ke ami nya..” seperti biasa, aku hanya bisa menyimpulkan sendiri.
* * * * *
Transit venus menuju matahari
Akhirnya
Mas Rifqi mengungkapkannya juga. Lalu apa setelah ini? Apa ini semua akan
berhenti sampai disini? Toh apa yang bisa aku harapkan lagi setelah ini?
Bagaimana pun juga aku sudah memiliki Anto. Dan akan terkesan tidak baik juga
bila aku tiba-tiba memutuskan untuk meninggalkannya hanya karena sesorang yang
baru saja membuatku merasa senang lebih dari yang ku bayangkan sebelumnya.
Lalu
lambat laun ku memulai pembicaraan yang lain. Aku memang merasa sedih. Sedih
karena aku tidak bisa menjadi seperti yang dia alami. Bisa mendalami ilmu
astronomi hingga S2. Tidak sepereti ku, dengan kemampuanku yang berada jauh
dibawah dirinya, apa yang bisa aku lakukan? Keluar dari jurusanku dan mengambil
jurusan astronomi di ITB? Hm!~ tak semudah itu kawan! Dengan semangat yang
kumiliki, aku hanya bisa terus maju walau pun jalanku memang sangat sempit
untuk dilewati.
Untuk
mengambil topik tugas akhir saja, aku masih merasa bingung. Jati diri sebagai
astronom tak bisa ku kembangkan bila ku masih berdiri disini. Dan perlahan aku
mencoba mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bagai Venus yang melakukan
transit ke Matahari. Lewat jalan Kerja Praktik di Bosscha, aku beruntung bisa
bertemu astronom-astronom Indonesia yang ahli dalam bidangnya. Aku seperti
menemukan jalan pintas untuk bisa lebih dekat dengan bidang keilmuan ini.
Dan
aku rasa, Mas Rifqi mengerti apa maksudku. Aku ingin dia sedikit berbagi
ilmunya kepadaku. Aku rasa hubungan ini lebih cocok jika dia hanya menjadi
dosenku. Karena aku pikir Anto tidak akan curiga kepadaku jika aku mengenalkan
Mas Rifqi hanya sebagai dosenku saja. Dan aku rasa dosen itu seperti guru, dan
guru adalah orang tua. Hubungan orang tua dan anaknya tidak akan pernah ada
kata “mantan”. Dan dengan begitu, aku bisa terus menjalin komunikasi dengan
dia. Hingga akhirnya dia memiliki wanita idaman yang ia nantikan, dan aku pun
memiliki keluarga bahagia bersama Anto.
Yah!~
anggap saja, relasi yang kita jalin adalah sebagai perjalanan transit Venus
menuju Matahari. Akan sangat dekat disaat-saat tertentu. Dan akan sangat jauh
disaat yang lain. Walau pun kondisi semacam itu adalah sesuatu yang sangat
langka.
Sedikit
unik dan rumit memang. Berada di situasi friend zone sudah terlalu mainstream
menurutku. Kalau situasi coach zone mungkin itu namanya anti mainstream. Oke!~
selamat datang di dunia anomali ami, hyung! Aku rasa kakak akan semakin tahu
keanehan-keanehan yang ada di dalam diriku.
SELESAI
28 Maret 2016
Ami Fajriani
Komentar
Posting Komentar